Pemilihan Umum Legislatif 9 April 2014 hari ini digelar, saatnya rakyat memiliki kedaulatan penuh untuk menentukan nasibnya untuk 5 tahun kedepan. Hari ini pula, para calon anggota legislatif, baik anggota DPD, DPRRI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota nasibnya sedang dieksekusi oleh masyarakat.
Ribuan Caleg mayoritas memiliki harapan sangat besar dan optimis bahwa Pemilu 2014 menjadi tahun peruntungan bagi dirinya. Para Caleg yang optimis ini tidak saja yang sudah berstatus incumbent, namun para pendatang baru juga memiliki peluang yang sama besarnya ketika Pileg telah mendasarkan pada pemilihan atau hasil suara terbanyak.
Suara terbanyak telah membuat Caleg memiliki kedudukan dan peluang yang sama untuk mendulang simpati mayoritas rakyat melalui pasar bebas politik di negeri ini. Parpol tidak lagi bisa mengatur secara sistematis dan memprioritaskan kader terbaiknya untuk menjadi anggota legislatif karena penentu terakhirnya bukan lagi nomor urut Caleg, tetapi seberapa besar dirinya memperoleh dukungan masyarakat.
Dalam konteks pasar bebas politik inilah, mayoritas Caleg terdorong dan beramai-ramai mengeluarkan dan bahkan menghabiskan segala daya kekuatannya untuk memperebutkan jumlah kursi yang sangat terbatas disetiap Daerah Pemilihan (DP). Pertarungan antar Caleg tidak lagi secara dominan diwarnai oleh persaingan antar partai politik, tetapi justru yang lebih seru adalah pertarungan antar Caleg di internal partai politik.
Realitas itu terjadi karena parpol dan para Calegnya sadar bahwa masing-masing partai politik diprediksi sudah memiliki jatah kursi yang hampir pasti tergenggam sehingga jika ada peningkatan maka jumlahnya tidak akan terlalu signifikan. Karena itulah semua Caleg berusaha merebut jumlah kursi yang paling realistis bisa diraih oleh partai politik dalam setiap DP.
Dari ribuan jumlah Caleg yang terdaftar maka jumlah kursi yang diperebutkan hanyalah berjumlah sekitar 10% saja. Sebagai contoh untuk kursi di DP III Kota Semarang (tempat penulis mencoblos) maka kuota yang diperebutkan adalah sejumlah 11 kursi, sementara Caleg yang berebut kursi di DP ini adalah lebih dari 120 orang. Realitas seperti ini tampaknya juga berlaku untuk DPRD Provinsi, DPRRI dan DPD.
Sedikitnya jumlah kursi yang diprebutkan di setiap Dapil ternyata tidak menyurutkan para Caleg untuk habis-habisan mengeluarkan segala daya dan upayanya dalam bersaing dan bertarung dengan rekan separtainya sendiri demi merebut kursi yang sangat terbatas itu.
Sebagai contoh, ada partai politik tertentu yang dalam sejarahnya sejak Pemilu era reformasi hanya mampu merebut 1 kursi di DPRD Kota Semarang, tetapi setelah diberlakukan pasar bebas politik (suara terbanyak) maka jumlah Caleg di internal partai politik ini hampir semuanya merasa optimis untuk menang. Dari 1 kursi yang yang secara realistis bisa kembali dipegang oleh parpol tersebut, ternyata jumlah Calegnya yang sudah habis-habisan bertempur adalah sebanyak 5 orang.
Realitas politik seperti itu tampaknya merata di berbagai partai politik, baik untuk Caleg di DPRRI, DPRD Provinsi dan terutama DPRD Kabupaten Kota/ Kabupaten yang jumlahnya wilayahnya relatif kecil. Berdasarkan fakta itu, maka akan sangat banyak Caleg yang tersingkir serta harus menerima kenyataan sangat pahit karena harus dikalahkan oleh rekan separtainya sendiri.
Kenyataan pahit itulah tampkanya yang belum sebelumnya diprediksi oleh para Caleg, terutama dari para pendatang baru yang masih sangat hijau pengalamannya dalam melakukan kalkulasi politik. Para Caleg seperti ini biasanya sangat mudah terprovokasi, dibujuk atau bahkan ditipu oleh pihak-pihak yang kurang bertanggungjawab untuk dijanjikan suara yang sangat melimpah asal bisa memberikan atau melalukan konsesi tertentu.
Demi memenuhi ambisi politiknya, maka sebagian Caleg akhirnya lepas kontrol, mudah menjual dan atau mengadaikan asetnya yang sangat berharga seperti Rumah dan lainnya demi untuk memperoleh uang yang sangat besar agar dapat memenuhi rayuan politik yang sangat menggiurkan. Tidak jarang menjelang hari H, banyak caleg yang sudah kehabisan peluru sehingga harus berhutang ke berbagai pihak dengan jumlah yang cukup besar demi mendanai kepentingan politiknya.
Fakta itulah yang sesungguhnya kini banyak dijalani oleh mayoritas Caleg yang sudah berbulan-bulan lamanya bertempur habis-habisan demi memperebutkan kursi legislatif yang sangat terbatas jumlahnya. Ketika ambisi, pengorbanan dan hasil akhir Pemilu akhirnya tidak sesuai harapan atau bahkan sangat jauh 'meleset' maka yang segera muncul adalah sikap marah dan kecewa karena merasa dikianati oleh orang-orang yang selama ini dianggap loyal dan selalu menjanjikan kemenangan.
Kekecewaan, sakit hati dan kemarahan ini akhirnya segera memuncak menjadi depresi dan bahkan 'stres' ketika dirinya gagal menduduki kursi legislatif dan sekaligus harta bendanya habis serta harus menanggung hutang besar yang harus dibayar. Realitas inilah yang segera menjangkiti para Caleg yang tidak siap 'kalah' serta tidak memiliki tingkat kepasrahan yang total kepada Tuhannya.
Fenomena munculnya Caleg Stres tampaknya akan meningkat mengingat jumlah Caleg yang masuk dalam pasar bebas politik yang sangat keras dan kejam jumlahnya semakin besar. Karena itu, pasca penghitungan suara di Pemilu 2014 maka Rumah Sakit pantas mengucapkan : Selamat Datang, Caleg Stres !
Fungsi Rumah Sakit demikian sungguh mulia demi menyehatkan kembali jiwa dan mental calon pemimpin masyarakat dan sekaligus semakin mendewasakan serta membesarkan jiwanya bahwa kesempatan untuk berjuang dan mengabdi bagi bangsanya masih terbuka, tidak harus saat ini tetapi masih ada masa depan, tidak harus jadi anggota legislatif karena lahan pengabdian ditempat lain masih sangat terbuka dan banyak menanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H