Gonjang ganjing politik akibat konflik terbuka antara KPK Vs Polri disamping telan membuat pusing Presiden Jokowi, keberadaannya juga dapat mengundang resiko politik jika dalam keputusan finalnya nanti sang Kepala Negara tidak dapat mengambil keputusan terbaik dengan lebih berpihak pada kepentingan dan harapan rakyat yang jauh lebih besar.
Jokowi dalam konteks ini terlihat tersandera oleh banyaknya kepentingan yang mengitarinya sehingga posisinya sangat dilematiis, antara mengikuti suara publik yang semakin membuncah atau tetap tunduk kepada kekuatan-kekuatan yang pernah menjadi pendukungnya dalam Pilpres tahun lalu, terutama dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Minggu ini adalah janji Jokowi kepada publik untuk menuntaskan konflik KPK Vs Polri yang semakin melebar serta keputusan 'melantik' atau membatalkan dengan sekaligus menggantikan Pencalonan Komjen Budi Gunawan dengan Calon Kapolri yang baru.
Inilah saat-saat yang berat bagi Jokowi untuk memenuhi janjinya dengan memutuskan kebijakan yang sungguh penting dan berisiko politik tinggi termasuk bagi dirinya. Jokowi satu sisi bisa berhadapan dengan rakyat jika keputusan yang diambil terasa tidak adil dan mencederai aspirasi publik, sementara Presiden ke-7 ini akan berhadapan dengan kekuatan politik yang menjadi pendukung utamanya di KIH jika akhirnya harus mengalahkan.
Ditengah kondisi yang sesulit ini, tampaknya Jokowi dibiarkan 'sendirian' oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. JK terlihat sangat pasif, tidak mengambil prakarsa dan menghilang dari perhatian publik ditengah situasi kebangsaan yang cukup krusial. Sikap politik JK ini tentu patut dicurigai dan dipertanyakan, karena dirinya kini seakan mengambil posisi: "Lebih Diam, lebih aman". Kondisi demikian sangat bertolak belakang dengan karakteristiknya selama ini yang lebih menonjolkan sikap atau gerakan : "lebih cepat, lebih baik".
Diam atau menghilangnya JK dalam konteks politik tentu bisa memunculkan tafsir yang cukup beragam, karena kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan sikap dan kebiasaan JK yang gesit, cepat mengambil prakarsa, berani mengambil resiko dan selalu tampil sebagai negosiator yang sangat brilian sehingga perannya terlihat fenomenal saat menjadi Wapres mendampingi Presiden SBY.
Karena keberanian, kecepatan dan ketepatan dalam mengambil keputusan penting, maka posisi JK pernah disebut sebagai "the real President". Sikap tegas, berani dan dominan itu kini seakan hilang begitu saja, karena JK cenderung diam, tidak mau terlibat dan menghindari isu-isu politik yang sungguh beresiko.
Dalam konteks inilah publik pantas mencurigai apabila JK memiliki agenda dan skenario politik tertentu jika terjadi hal-hal yang diluar dugaan, dimana Presiden Jokowi terus terseret dalam pertarungan politik yang tidak produktif dan akhirnya harus mengakiri masa tugasnya sebagai orang no. 1 di Republik ini.
Ditengah konflik dan tensi politik yang semakin membuncah saat ini, dimana eksistensi Presiden Jokowi ikut menjadi taruhaannya, JK tampaknya lebih memilih strategi mencari aman dengan melokalisir dirinya dari arena pertarungan yang terjadi. JK tidak ingin terlibat dalam konflik atau mencari musuh dengan melakukan keberpihakan secara terbuka atas konflik politik dan hukum yang sedang terjadi.
JK memilih strategi aman, pasif dan menunggu, apalagi berdasarkan konstitusi jika sang Presiden berhalangan maka Wakil Presiden adalah satu-satunya orang yang berhak menggantikannya seperti saat Presiden Soeharto lengser posisinya digantikan oleh BJ Habibie dan ketika Presiden Gus Dur lengser posisinya juga digantikan oleh Megawati yang sebelumnya masing-masing menjabat Wakil Presiden.
JK selama ini memiliki pengalaman politik yang matang, jaringan sangat luas, modal kapital yang cukup serta pengalaman birokrasi paripurna. Kapasitas pengalaman JK itu jauh melampaui yang dimiliki Jokowi yang lebih diuntungkan dengan tingginya popularitas dan elektabilitas menjelang dan saat terjadi Pilpres lalu.
JK juga pernah memiliki ambisi menjadi Presiden, ketika maju dalam Pilpres tahun 2009 lalu bersama Wiranto sebagai Cawapresnya. Hubungan JK dengan tokoh-tokoh politik di KIH diprediksi juga lebih dekat, terutama dengan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dan Wiranto yang sejak awal telah membangun kemitraan politik di Golkar. JK juga dikenal cukup lama dekat dengan Megawati sehingga dirinya mulus diloloskan menjadi Cawapres Jokowi yang digawangi PDI-P.
Berdasarkan kalkulasi itu, diamnya JK adalah strategi dan dalam bingkai skenario politik. JK adalah tokoh alternatif yang masih tetap bisa dipegang komitmen politiknya jika terjadi perubahan politik luar biasa. Diamnya JK harus dikalkulasi secara politik karena tidak 'biasanya' tokoh ini diam, menghindar, tiarap dan menghilang saat terjadi krisis.
Penampilan JK kini terlihat berubah sangat drastis atau hampir 180%. Apakah JK memang tidak sekuat dahulu seperti ketika menjadi Wapresnya SBY yang sekaligus menjadi Ketua Umum Golkar ataukah diamnya JK sesungguhnya bukan mewakili dirinya sendiri, namun patut diduga sedang memainkan pesan, peran, strategi dan skenario politik ke depan bersama sekutu-sekutu politiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H