Mohon tunggu...
Alyathur Rifqah
Alyathur Rifqah Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ancaman Konflik di Laut China Selatan Terhadap Kedaulatan Indonesia

14 Mei 2024   16:00 Diperbarui: 17 Mei 2024   14:54 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain dari dasar UNCLOS 1982, juga terdapat keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA) atau Mahkamah Arbitrase Internasional yang menyatakan hak historis tidak berlaku ketika UNCLOS 1982 mulai entry force setelah ratifikasi. Hal inilah menjadi landasan negara-negara kawasan untuk saling menjaga klaim antar wilayah yang sedang sengketa.

Dalam konteks secara negara, Kementerian Republik Indonesia selalu menyerukan bahwa Indonesia tidak memiliki konflik dengan China di wilayah Laut China Selatan. Namun secara tersirat, baik dari posisi Indonesia maupun China memiliki perang kepentingan di wilayah tersebut. Terutama pihak Kementerian Luar Negeri China, telah menyiratkan sejak tahun 1990-an hingga untuk pertama kalinya menyatakan secara terbuka bahwa wilayah perairan ZEE Indonesia utamanya di Natuna Utara masih termasuk wilayah tangkapan ikan tradisional China pada tahun 2016. Selain itu, beberapa bentrokan yang terjadi di wilayah Natuna antara kapal perang Indonesia dan China yang menjadi salah satu tanda bahwa China memiliki perspektif bila sebagian Natuna masih merupakan wilayahnya. Terakhir, China hanya memberikan pernyataan yang ambigu bahwa Natuna merupakan bagian integral milik Indonesia.

Sejauh ini, Indonesia telah berulang kali mengajukan klarifikasi kepada China berkaitan tentang klaim nine dash line China di wilayah Laut China Selatan. Permintaan klarifikasi tersebut telah dimulai pada tahun 1996 oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas kepada Menteri Luar Negeri China saat itu Qian Qichen, namun tidak pernah mendapat jawaban. Hal ini tentu saja menyebabkan ambiguitas dari batas wilayah China di Laut China Selatan.

Status Indonesia hingga saat ini pada konflik Laut China Selatan berpendirian bahwa tidak ada tumpang tindih wilayahnya dengan China dan tidak pernah mengajukan klaim atas pulau maupun karang di Laut China Selatan, utamanya pada proyeksi Kepualauan Spartly, Kepulauan Paracel, dan Gugusan Karang Scarborough. Pada kasus ini, Indonesia selalu memposisikan dirinya sebagai mediator, honest broker, dan confidence builder dalam konflik territorial. Meskipun pada kenyataannya, ZEE Indonesia bersinggungan dengan nine dash line sebanyak 83.000 km², yang diklaim China sebagai “traditional fishing ground”. Selain itu juga tidak jarang kapal nelayan dari China yang kerap beroperasi di wilayah Natuna Utara dan memicu gesekan antar kedua negara.

Pendirian Indonesia ini didasarkan UNCLOS 1982 yang berlaku secara internasional dan juga sesuai dengan hasil Mahkamah Internasional pada tahun 2016 sehingga mitra perundingan Indonesia tidak dapat menggunakan pulau-pulau kecil sebagai proyeksi ZEE dan Landas Kontinen. Pada kasus ini, Indonesia hanya melakukan klaim wilayah kepulauan yang sudah lama menjadi wilayah kedaulatannya yaitu Natuna dan Anambas.

Secara keseluruhan, posisi Indonesia pada kasus Laut China Selatan dapat dilihat pula pada Nota Diplomatik No-480/POL-703/VII/10 (pada tanggal 8 Juli 2010) dirujuk ulang oleh Nota Diplomatik 126/POL-703/V/20 (pada tanggal 26 Mei 2020).

Dalam menanggapi kasus konflik di Laut China Selatan, Indonesia tentu saja tidak tinggal diam karena dikhawatirkan akan mengganggu kepentingan dan kedaulatannya. Hal-hal yang dilakukan oleh Indonesia untuk mempertegas klaim wilayah tersebut (Natuna dan Anambas) salah satunya, yaitu dengan mengganti nama laut Natuna Utara.

Salah satu cara yang dilakukan oleh Indonesia untuk memperkuat klaim kedaulatan wilayah di utara Natuna yaitu dengan perubahan nama wilayah klaim. Dasar perubahan nama klaim wilayah di utara Natuna menjadi Natuna Utara yang sebelumnya ikut bernama Laut China Selatan ini didasarkan strategi politik. Penamaan Laut Natuna Utara merupakan hal yang biasa dalam penamaan laut pada praktik internasional, proses pencatatannya dalam dokumen internasional melalui mekanisme International Hydrographic Organization (IHO) yang terbuka.

Media milik pemerintah China, China Daily mengumumkan ‘Peta Standar China 2023’ peta ini dirilis oleh Kementerian Sumber Daya Alam China pada Senin 28 Agustus 2023. Peta ini memainkan “peran penting dalam mendorong pembangunan bangsa, memenuhi kebutuhan semua lapisan masyarakat, mendukung pengelolaan sumber daya alam, dan membantu pembangunan ekologi dan peradaban” (BBC News Indonesia, 2023).
Dari peta yang dilihat BBC News Indonesia, China mempertahankan klaim klasiknya yang disebut sebagai sembilan garis putus-putus (nine dash line) di kawasan Laut China Selatan. Hal terbaru dalam peta ini adalah masuknya kawasan laut bagian timur Taiwan sehingga menambah satu garis putus-putus dari sembilan menjadi 10 garis putus-putus. 10 garis putus-putus dalam peta baru China ini juga memperluas klaim atas wilayah laut yang berbatasan dengan Filipina.

Berdasarkan uraian di atas, menurut hemat penulis, pengakuan secara sepihak oleh China atas peta barunya dengan menambahkan 10 garis putus-putus yang sebelumnya adalah sembilan garis putus-putus (nine dash line), dianggap tidak sah karena telah menyalahi aturan yang terdapat di dalam UNCLOS 1982 dan juga keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA) atau Mahkamah Arbitrase Internasional. Selain itu, hak historis yaitu pembuatan peta yang didasarkan akan sejarah wilayah penangkapan ikan tradisional atau traditional fishing zone yang dimiliki oleh masyarakat China, tidak dapat berlaku ketika UNCLOS 1982 mulai entry force setelah ratifikasi. Selanjutnya, cara untuk memperkuat kedaulatan Indonesia terhadap China yaitu dengan mengganti nama klaim wilayah di utara Natuna menjadi Natuna Utara, dimana ini merupakan strategi politik.

Referensi
Buku

  • Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. Hukum Internasional: Bunga Rampai. Alumni. Bandung. 2003.
  • Santoso, Syarifurohmat Pratama. Percaturan Geopolitik Kawasan Laut China Selatan. Deepublish. Sleman. 2021.
Website

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun