Hal ini berarti bahwa setiap istilah dalam hukum harus dirumuskan dengan terang dan tegas sehingga tak ada keragu-raguan tentang tindakan apa yang dimaksud. Begitu pula aturan- aturan hukum harus dirumuskan dengan ketat dan sempit agar keputusan dalam perkara pengadilan tidak dapat menurut tafsiran subyektif dan selera pribadi hakim. Kepastian orientasi menuntut agar ada prosedur pembuatan dan peresmian hukum yang jelas dan dapat diketahui umum. Kepastian orientasi ini juga menuntut agar hukum dikembangkan secara kontinu dan taat asas. Undang-undang harus saling kait mengkait, harus menunjuk ke satu arah agar masyarakat dapat membuat rencana ke masa depan, begitu pula jangan dibuat undang-undang yang saling bertentangan.
Konsep Kepastian Hukum dalam Perspektif Teori
Pertanyaan mendasar tentang keberadaan hukum di masyarakat, selalu terkait dendan bangunan hukum dalam suatu sistem dan hal ini tentunya
diperlukan untuk menjamin terciptanya kepastian hukum itu sendiri dalam kehidupan sosial masyarakat. Persoalan kepastian hukum masih menjadi hambatan dalam kegiatan penyelenggaraan negara dan pembangunan, serta
termasuk pula dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Hal ini terjadi karena peraturan perundang-undangan yang masih tumpang tindih, tidak konsisten, tidak jelas atau multitafsir, bahkan karena rendahnya pemahaman penyelenggara negara atau masyarakat terhadap aturan hukum itu sendiri.
Banyak aspek yang terkait dengan kehidupan masyarakat telah diwujudkan dalam bentuk undang-undang demi menjamin terciptanya kepastian hukum, tetapi faktanya walaupun diwujudkan dalam bentuk undang-undang
ternyata dalam pengimplementasinya tidak dipatuhi. Salah satu faktor tidak dipatuhinya undang-undang, karena ketidak pahaman terhadap aturan hukum, dan oleh sebab itu guna mewujudkan kepastian hukum tidaklah dapat dilakukan hanya dengan membentukya dalam undang-undang.
Fungsi dari asas ini untuk menjamin seseorang dapat melakukan suatu prilaku yang sesuai dengan ketentuan dalam hukum yang berlaku dan sebaliknya. Jika kepastian hukum tidak ada, maka seseorang tidak dapat memiliki suatu ketentuan baku untuk menjalankan suatu prilaku.Â
Kepastian Hukum juga menjamin bahwa hukum harus jelas, dipahami dengan mudah, dan dapat diprediksi dalam mengambilan keputusan hukum, sehingga Masyarakat tahu apa yang diharapkan mereka. Yang menjamin kepastian hukum dalam UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) adalah setiap warga Negara Republik Indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Asas Kepastian Hukum juga memiliki pasal yaitu, pasal 28 D UUD tahun 19445 ayat (1) menytakan bahwa ''Setiap orag berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama terhadap hukum''. Â Jaminan tersebut berfungsi agar kepentingannya di perhatikan oleh setiap orang lain. Jika kepentingan itu terganggu, maka hukum harus melindunginya setiap ada pelanggaran hukum.
Contoh kasus mengenai asas kepastian hukum yaitu, pemungutan pajak harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam perundang-undangan yang berlaku sehingga ada kejelasan dari subjek, objek dan besarnya pajak yang harus di bayar oleh wajib pajak. Pembahasan mengenai kasus pemungutan pajak ini masuk ke dalam asas kepastian hukum, hal ini dilakukan agar landasan yang jelas dalam pemungutan pajak, pajak bersifat wajib bagi seluruh warga negara yang masuk dalam kategori wajib pajak, dan pemungutan pajak mempunyai dasar baik melalui peratursn pemerintah maupun melalui perundang-undangan.
Adapula kasus tentang asas kepastian hukum tentang pelanggaran asas kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah di Kabupaten Toba Samosir,berikut adalah contoh penjelasan mengenai kasus tersebut.
Pelaksanaan Pilkada serentak di Propinsi Sumatera Utara, ternyata masih menimbulkan berbagai persoalan, hal ini diasumsikan karena berbagai faktor, antara lain terkait dengan ketidakpahaman Penyelenggara Pemilu terhadap berbagai regulasi dalam bidang kepemiluan. Sebagai contoh yang dapat diambil adalah kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Panwas Kabupaten Toba Samosir Kasus ini diawali dari keputusan KPU yang tidak menetapkan Monang Sitorus dan Chrissie Sagita Hutahean dari alur calon perseorangan sebagai Pasangan Calon dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Toba Samosir (karena tidak memenuhi persyaratan), yang pada akhirnya menimbulkan sengketa Pilkada
Berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa yang dilaksanakan. dalam putusannya
Panwas Kabupaten Toba Samosir secara sepihak telah menetapkan Monang Sitorus dan Chrissie Sagita Hutahean sebagai pasangan calon dalam Pilkada Kabupaten Toba Samosir. Persoalan yang muncul dari kasus ini adalah terkait dengan kewenangan Panwas Untuk menetapkan pasangan calon tersebut dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Toba Samosir, padahal dalam UU No. 8 Tahun 2015, tidak ada ketentuan yang memberikan kewenangan bagi Bawaslu berikut ajaran ke bawah untuk menetapkan bakal calon sebagai calon dalam Pilkada, sehingga Panwas Kabupaten Toba Samosir telah diadUkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP-RI) dengan tuduhan melakukan pelanggaran etika kepemiluan.
Adanya fakta dan pengalaman bahwa di Kabupaten Toba Samosir telah terjadi pelanggaran etika penyelenggaraan pemilu yang terkait dengan asas kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pemilu, perlu kiranya dilaksanakan pembinaan di jajaran Panwas Kabudaten/Kota tentana kewenanaan dalam penyelesaian sengketa pemilu,sehingga para penyelenggara pemilu (khususnya panwas dapat memahami,mempedomani serta mengidahkab asas-asas prinsip-prinsip dasar, dan pelaksanaan prinsip-prinsip dasar pemilu sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Kode Etik Pemilu. serta peraturan-peraturan atau regulasi-regulasi lain yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H