Konsep diri merupakan salah satu elemen pokok dalam psikologi perkembangan yang memengaruhi cara seseorang memahami, menerima, dan menghargai dirinya sendiri. Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya Developmental Psychology: A Life-Span Approach (1980), mengungkapkan bahwa konsep diri terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri positif ditandai dengan penerimaan diri, rasa percaya diri, dan kemampuan untuk melihat kekuatan maupun kelemahan secara seimbang. Sebaliknya, konsep diri negatif sering kali membuat individu fokus pada kekurangan, merasa rendah diri, dan sulit menerima kritik.
"Konsep diri positif dapat mendorong individu untuk mencapai potensi maksimalnya, sementara konsep diri negatif sering kali menjadi penghalang dalam mencapai keberhasilan," Hurlock (1980). Dalam konteks remaja, fase ini menjadi krusial karena mereka tengah mengalami berbagai perubahan fisik, emosional, dan sosial yang dapat memengaruhi cara pandang terhadap diri sendiri.
Tulisan ini memuat hasil observasi berupa wawancara kepada salah satu responden, yakni siswi SMK berinisial SS yang membahas secara mendalam teori Hurlock tentang konsep diri yang ada pada diri seseorang. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik kepada pembaca agar dapat membantu remaja mengembangkan konsep diri yang sehat.
Konsep Diri Positif
Dalam konsep diri positif, SS memandang bahwa keberhasilan memiliki peran besar dalam membangun rasa percaya diri. Setiap keberhasilan yang dicapai menjadi dorongan bagi dirinya untuk menghadapi tantangan yang lebih besar di masa depan. Bagi SS, keberhasilan tidak hanya menjadi pencapaian, tetapi juga sumber motivasi untuk terus berusaha lebih baik lagi. Di sisi lain, kegagalan tidak dianggap sebagai akhir dari segalanya. Sebaliknya, SS melihat kegagalan sebagai pembelajaran yang berharga untuk mengembangkan diri dan memperbaiki langkah di masa depan.
SS juga menyadari pentingnya apresiasi dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Saat diapresiasi, ia merasa dihargai dan hal ini memberikan pandangan positif terhadap dirinya sendiri. Apresiasi tersebut menjadi sumber energi untuk terus melangkah dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Selain itu, SS memiliki pandangan yang terbuka terhadap kritikan. Baginya, kritikan bukanlah ancaman, tetapi sebuah masukan yang dapat digunakan untuk memperbaiki diri dan mencapai perkembangan yang lebih baik ke depan.
Dalam menghadapi konflik, SS berusaha memahami situasi dengan melihat dari sudut pandang orang lain. Pendekatan ini menunjukkan kemampuan empatinya yang menjadi salah satu kekuatan dalam membangun hubungan sosial yang baik. Akan tetapi, SS juga memiliki cara untuk mengelola emosinya. Ketika emosi memuncak dan sulit dikendalikan, ia memilih untuk memisahkan diri dari kerumunan sebagai bentuk usaha menenangkan diri. Strategi ini membantu SS menjaga kestabilan emosional dan berpikir jernih dalam menyelesaikan masalah.
SS percaya bahwa kekuatan yang dimiliki memungkinkan dirinya untuk beradaptasi dengan baik di berbagai situasi. Namun, ia juga menyadari bahwa kelemahan tertentu terkadang membuatnya cenderung overthinking. Meski demikian, SS tidak membiarkan kelemahan itu menghalangi dirinya untuk terus maju. Dengan pemahaman yang mendalam tentang kekuatan dan kelemahannya, SS mampu membangun konsep diri positif yang seimbang dan mendorong perkembangan dirinya secara terus-menerus.
Konsep Diri Negatif
Konsep diri negatif sering kali terbentuk akibat pengalaman atau perlakuan yang kurang mendukung, seperti yang dialami oleh SS. Ia mengidentifikasi beberapa faktor utama yang menyebabkan rasa tidak percaya diri, yaitu kritik berlebihan, perundungan, dan pengalaman kegagalan. Kritik yang berlebihan sering kali membuat SS merasa tertekan dan berpikir secara berlebihan. Akan tetapi, SS berusaha untuk tidak terjebak dalam pola pikir ini dengan belajar menyaring kritik yang ia terima. Fokusnya adalah pada kritik yang membangun agar ia tetap dapat berkembang tanpa terbebani oleh hal-hal negatif. Â
Bagi SS, pengalaman kegagalan juga menjadi salah satu pemicu rasa tidak percaya diri. Ia pernah merasakan kegagalan dalam suatu pertandingan sehingga membuat ia mempertanyakan kemampuan dirinya. Dalam momen seperti itu, SS merasa kecewa dan memilih untuk merenung. Melalui perenungan tersebut, ia mulai memahami bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Meskipun awalnya sulit untuk menerima, SS perlahan menyadari bahwa kegagalan justru dapat menjadi pelajaran berharga untuk memperbaiki diri di masa depan. Â