Mohon tunggu...
Alya Noor Maulidia
Alya Noor Maulidia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

اللّٰه🤍

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tirani Mayoritas dalam Kebijakan Pajak PPN 12% di Indonesia

27 Desember 2024   13:30 Diperbarui: 27 Desember 2024   13:38 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu instrumen dalam keuangan negara yang digunakan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap transaksi jual beli barang atau jasa kena pajak. Di Indonesia, kebijakan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% telah menimbulkan polemik di masyarakat.

Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Mentri Keuangan Sri Mulyani beranggapan kebijakan ini dilakukan guna mendanai berbagai program pembangunan dan pelayanan publik, terutama setelah pandemi yang melemahkan kondisi fiskal (Liputan 6). 

Sri Mulyani juga menyebut bahwa tarif PPN Indonesia yang akan menjadi 12% masih relatif rendah dibandingkan dengan negara lain, seperti Brasil (17%), India (18%), dan Turki (20%).

Namun, kebijakan ini menuai kritik karena dianggap memberatkan masyarakat, terutama kelompok menengah kebawah dan para pelaku usaha. Hal ini didukung munculnya petisi berjudul "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" di laman Change.org yang telah ditandatangani 196.000 orang per 27 Desember 2024. 

Ironisnya, kebijakan ini lahir dari pemerintah yang didukung oleh mayoritas suara dalam Pemilu 2024 lalu, di mana pasangan Prabowo Subianto--Gibran Rakabuming memperoleh 58% suara. Kemenangan mayoritas ini mencerminkan kelemahan sistem demokrasi. Dalam bukunya yang berjudul Democracy in America, Alexis de Tocqueville menjelaskan bahwa demokrasi akan menciptakan paradoks tirani mayoritas (Anthony 2001:75-76). 

Tirani mayoritas terjadi ketika keputusan yang diambil berdasarkan suara mayoritas mengabaikan kepentingan kelompok minoritas atau bahkan merugikan seluruh masyarakat, termasuk mayoritas itu sendiri (Roring 2022). Kebijakan PPN 12% ini menjadi salah satu contoh, di mana keputusan yang didukung mayoritas pemilih justru berpotensi membebani seluruh lapisan masyarakat. Baik kelompok yang tidak memilih maupun mereka yang mendukung, kebijakan ini pada akhirnya berdampak pada ekonomi masyarakat. 

PPN 12 Persen

Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% telah resmi disetujui pada Senin, 16 Desember 2024 dan akan berlaku mulai 1 Januari 2025 (CNN). Kenaikan PPN sebesar 1% ini merupakan kelanjutan dari kebijakan sebelumnya yang ada pada 2022 lalu, di mana tarif PPN dinaikkan dari 10% menjadi 11%. Berdasarkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, barang dan jasa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, seperti bahan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum, tidak dikenakan kenaikan tarif PPN. Namun, barang-barang konsumsi, jasa hiburan, layanan digital, dan barang impor akan terdampak oleh kenaikan tarif menjadi 12 %.

Meskipun barang primer tidak terdampak pada kenaikan PPN, barang sekunder menjadi terkena dampaknya. Kelompok masyarakat menengah ke bawah, yang memiliki proporsi pengeluaran lebih besar untuk barang-barang konsumsi, akan lebih merasakan tekanan ekonomi dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi. Kebijakan ini justru hanya akan memperlebar kesenjangan ekonomi. 

Kenaikan ini mendapat banyak tentangan dari masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah dan para pelaku usaha. Menurut Survey yang dikeluarkan oleh Inventure pada Oktober 2024 lalu, data menunjukkan bahwa 92% kelas menengah ingin Presiden Prabowo Subianto membatalkan atau merevisi kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12%. Selain itu data terbaru dari petisi Change.org yang berjudul "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" menunjukkan bahwa lebih dari 196.000 orang telah mentandatangani petisi. 

Berdasarkan UU  Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Pasal 7 ayat 3 disebutkan "Tarif PPN dapat diubah paling tinggi 15 persen dan paling rendah 5 persen dan perubahan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah." Peraturan Pemerintah atau yang disingkat PP sendiri merupakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya (UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Hal ini menjelaskan bahwa penetapan kenaikan PPN sebesar 12% ditetapkan oleh Presiden Indonesia saat ini, yaitu Prabowo Subianto melalui persetujuan DPR RI. 

TIRANI MAYORITAS

Keputusan Prabowo Subianto dalam kenaikan tarif PPN sebetulnya sudah terlihat jauh sebelum kemenangannya dalam Pemilu 2024 lalu. Dengan visi misi yang berlandaskan "keberlanjutan" menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan presiden sebelumnya, Joko Widodo akan dilanjutkan pada pemerintahan dibawah kendali Prabowo. Begitu juga dengan kebijakan kenaikan PPN. Kebijakan ini sudah direncanakan Jokowi sejak 2021 lalu (Bisnis.com 2024). Kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran pada Februari 2024 menunjukkan bahwa 58.6 % masyarakat Indonesia ingin melanjutkan program-program yang telah dibuat Joko Widodo. 

Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America menjelaskan demokrasi sebagai sistem yang menjunjung tinggi prinsip kesetaraan. Di dalam sistem ini, semua individu dianggap setara, dan pendapat setiap orang memiliki bobot yang sama. Kesetaraan ini menciptakan kondisi di mana kebijakan dan keputusan diambil berdasarkan aturan mayoritas (majority rule), di mana jumlah suara terbanyak menjadi penentu (dalam Anthony 2001:76).

Tocqueville menganggap bahwa salah satu kelemahan demokrasi adalah potensi munculnya tirani mayoritas (Open Stax College 2014). Tocqueville memperingatkan bahwa dalam sistem demokrasi, mayoritas yang memiliki kekuasaan besar dapat memaksakan kehendaknya tanpa memperhatikan minoritas. Ia menekankan bahwa dalam situasi seperti ini, keadilan dapat terabaikan karena suara mayoritas cenderung dianggap mutlak dan tidak terbantahkan.

Dalam Pemilu 2024 lalu di Indonesia, terdapat tiga pasangan calon presiden yang menawarkan visi kebijakan yang berbeda. Pasangan 01 Anies Baswedan-Muhaimin dan 03 Ganjar Pranowo-Mahfud memiliki rencana yang lebih fokus pada pengenaan pajak terhadap kelompok berpenghasilan tinggi, sementara pasangan 02 Prabowo Subianto-Gibran mengusung program yang ingin melanjutkan kebijakan pemerintah sebelumnya dengan menaikkan taraf pajak. Selain itu, dalam rencana pajak pasangan 02 juga terdapat rencana Pajak untuk UMKM. Hal ini dapat dinilai bahwa pasangan nomor urut 02 cenderung tidak berpihak pada kelompok menengah kebawah. 

"When an individual or a party is wronged in the United States, to whom can he apply for redress? If to public opinion, public opinion constitutes the majority." 

Kutipan tersebut menjelaskan dalam sistem demokrasi dapat terjadi paradoks tirani mayoritas, ketika individu atau kelompok merasa dirugikan oleh suatu kebijakan, mereka sering kali tidak memiliki ruang untuk mencari keadilan jika kebijakan tersebut didukung oleh opini mayoritas.

Jika dikaitkan pada substansi permasalahan, kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% di Indonesia menunjukkan bahwa keputusan mayoritas, dalam hal ini hasil pemilu memberikan legitimasi kepada pemerintah terpilih, sehingga bisa memaksakan kebijakan meskipun kebijakan ini dirasakan memberatkan oleh kelompok masyarakat tertentu. 

PERLUNYA MENGKAJI ULANG KEBIJAKAN

Pemerintah beralasan bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk memperkuat anggaran negara guna mendanai berbagai program pembangunan dan pelayanan publik. Namun, dampak dari kebijakan ini tidak bisa dihindari, terutama bagi kelompok menengah ke bawah dan pelaku usaha kecil. Harga barang konsumsi dan jasa sekunder yang menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat akan mengalami kenaikan yang signifikan. Meskipun kebutuhan pokok seperti bahan makanan dan layanan kesehatan tidak terkena pajak tambahan, pengeluaran untuk kebutuhan lain akan meningkat, yang pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat.

Paradoks ini menunjukkan bahwa prinsip "majority rule" dalam demokrasi tidak selalu menjamin terciptanya kebijakan yang adil dan menguntungkan semua pihak. Keputusan yang didasarkan pada legitimasi suara mayoritas sering kali mengabaikan kelompok yang kurang memiliki akses untuk menyuarakan aspirasinya. Oleh karena itu, perlu adanya ruang untuk memastikan bahwa kebijakan publik tidak hanya mempertimbangkan kepentingan negara, tetapi juga memberikan perlindungan kepada masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji ulang terkait kebijakan kenaikan tarif PPN 12% di Indonesia. 

 REFERENSI

Orum, Anthony M. 2001. Introduction to Political Sociology Fourth Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc. 

Bareng Warga. 2024. "Petisi Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" diakses pada 27 Desember 2024 di https://www.change.org 

Indonesia Baik. 2024. "Hasil Rekapitulasi Pemilu 2024" diakses pada 26 Desember 2024 di https://indonesiabaik.id/infografis  

Kata Data. 2024. "Infografik: Ambisi Para Capres dalam Menggerek Pajak" diakses pada 27 Desember 2024 di https://www.katadata.co.id 

UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 

UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun