Keputusan Prabowo Subianto dalam kenaikan tarif PPN sebetulnya sudah terlihat jauh sebelum kemenangannya dalam Pemilu 2024 lalu. Dengan visi misi yang berlandaskan "keberlanjutan" menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan presiden sebelumnya, Joko Widodo akan dilanjutkan pada pemerintahan dibawah kendali Prabowo. Begitu juga dengan kebijakan kenaikan PPN. Kebijakan ini sudah direncanakan Jokowi sejak 2021 lalu (Bisnis.com 2024). Kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran pada Februari 2024 menunjukkan bahwa 58.6 % masyarakat Indonesia ingin melanjutkan program-program yang telah dibuat Joko Widodo.
Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America menjelaskan demokrasi sebagai sistem yang menjunjung tinggi prinsip kesetaraan. Di dalam sistem ini, semua individu dianggap setara, dan pendapat setiap orang memiliki bobot yang sama. Kesetaraan ini menciptakan kondisi di mana kebijakan dan keputusan diambil berdasarkan aturan mayoritas (majority rule), di mana jumlah suara terbanyak menjadi penentu (dalam Anthony 2001:76).
Tocqueville menganggap bahwa salah satu kelemahan demokrasi adalah potensi munculnya tirani mayoritas (Open Stax College 2014). Tocqueville memperingatkan bahwa dalam sistem demokrasi, mayoritas yang memiliki kekuasaan besar dapat memaksakan kehendaknya tanpa memperhatikan minoritas. Ia menekankan bahwa dalam situasi seperti ini, keadilan dapat terabaikan karena suara mayoritas cenderung dianggap mutlak dan tidak terbantahkan.
Dalam Pemilu 2024 lalu di Indonesia, terdapat tiga pasangan calon presiden yang menawarkan visi kebijakan yang berbeda. Pasangan 01 Anies Baswedan-Muhaimin dan 03 Ganjar Pranowo-Mahfud memiliki rencana yang lebih fokus pada pengenaan pajak terhadap kelompok berpenghasilan tinggi, sementara pasangan 02 Prabowo Subianto-Gibran mengusung program yang ingin melanjutkan kebijakan pemerintah sebelumnya dengan menaikkan taraf pajak. Selain itu, dalam rencana pajak pasangan 02 juga terdapat rencana Pajak untuk UMKM. Hal ini dapat dinilai bahwa pasangan nomor urut 02 cenderung tidak berpihak pada kelompok menengah kebawah.
"When an individual or a party is wronged in the United States, to whom can he apply for redress? If to public opinion, public opinion constitutes the majority."
Kutipan tersebut menjelaskan dalam sistem demokrasi dapat terjadi paradoks tirani mayoritas, ketika individu atau kelompok merasa dirugikan oleh suatu kebijakan, mereka sering kali tidak memiliki ruang untuk mencari keadilan jika kebijakan tersebut didukung oleh opini mayoritas.
Jika dikaitkan pada substansi permasalahan, kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% di Indonesia menunjukkan bahwa keputusan mayoritas, dalam hal ini hasil pemilu memberikan legitimasi kepada pemerintah terpilih, sehingga bisa memaksakan kebijakan meskipun kebijakan ini dirasakan memberatkan oleh kelompok masyarakat tertentu.
PERLUNYA MENGKAJI ULANG KEBIJAKAN
Pemerintah beralasan bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk memperkuat anggaran negara guna mendanai berbagai program pembangunan dan pelayanan publik. Namun, dampak dari kebijakan ini tidak bisa dihindari, terutama bagi kelompok menengah ke bawah dan pelaku usaha kecil. Harga barang konsumsi dan jasa sekunder yang menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat akan mengalami kenaikan yang signifikan. Meskipun kebutuhan pokok seperti bahan makanan dan layanan kesehatan tidak terkena pajak tambahan, pengeluaran untuk kebutuhan lain akan meningkat, yang pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat.
Paradoks ini menunjukkan bahwa prinsip "majority rule" dalam demokrasi tidak selalu menjamin terciptanya kebijakan yang adil dan menguntungkan semua pihak. Keputusan yang didasarkan pada legitimasi suara mayoritas sering kali mengabaikan kelompok yang kurang memiliki akses untuk menyuarakan aspirasinya. Oleh karena itu, perlu adanya ruang untuk memastikan bahwa kebijakan publik tidak hanya mempertimbangkan kepentingan negara, tetapi juga memberikan perlindungan kepada masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji ulang terkait kebijakan kenaikan tarif PPN 12% di Indonesia.