Belakangan ini, tingkat literasi di Indonesia menjadi topik hangat yang kerap kali diperbincangkan. Melalui sumber Unesco pada tahun 2016 dalam situs "The World's Most Literations" yang dilansir Kompas TV menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 61 dari 62 negara. Di sisi lain PISA pada tahun 2019 mengungkapkan bahwa tingkat literasi Indonesia berada di peringkat 10 dari 70 negara yang berpartisipasi. Hal ini menggambarkan bahwa Indonesia mengalami krisis literasi. Salah satu penyebab terjadinya krisis literasi di Indonesia dikarenakan akses terhadap bacaan serta budaya membaca yang masih minim.
Budaya literasi yang minim di Indonesia bisa memengaruhi kemampuan akademis seorang pelajar, seperti kemampuan berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari, ataupun melalui media sosial. Dengan pemikiran kritis seseorang akan terhindar dari respons yang emosional atau informasi hoaks yang marak di sosial media. Oleh karena itu, kebiasaan membaca sehari-hari menjadi solusi yang tepat dalam meningkatkan budaya literasi dan kualitas pendidikan sehingga melahirkan generasi yang berpikir kritis serta melek literasi digital.
Pernyataan ini didukung oleh pendapat seorang ahil yang mengatakan bahwa kebudayaan literasi tidak bisa tumbuh sendirinya, melainkan melalui kebiasaan yang dilakukan secara berulang kali tanpa adanya unsur paksaan. Kebiasaan tidak hadir secara alami. tetapi membutuhkan proses yang memakan waktu dan pembelajaran berharga (Kimberly: 1997) Dari kebiasaan membaca perlahan-lahan kualitas pendidikan di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahun. Diperlihatkan melalui diagram rata-rata lama sekolah sepuluh terakhir yang terus mengalami peningkatan.
Peningkatan laju rata-rata lama sekolah merupakan hasil kerja keras Kemendikbudristek dengan pihak sekolah. Melihat krisis literasi di Indonesia menggerakan hati pemerintah dengan meminta setiap sekolah mengadakan budaya membaca secara digital. Selain itu, membuka akses para pelajar untuk bisa menggunakan bacaan fisik ataupun digital dengan mengadakan perpustakaan yang bisa diakses offline ataupun online.
Ketimpangan Budaya Membaca di Kota dan Desa yang Berdampak Pada Sumber Daya Manusia Indonesia.Â
Dilansir Jurnalpost Jika dibandingkan negara Asia Timur lainnya, yakni China, Jepang, dan Korea yang membaca 20 buku baru setiap tahunnya. Melebihi kebudayaan membaca yang ditetapkan oleh Uneso. Indonesia masih tertinggal jauh karena kebudaan membaca antara perkotaan dan desa masih terdapat ketimpangan.
Dari data BPS (Badan Pusat Statistika) angka status partisipasi di wilayah perkotaan yang melanjut sekolah lagi 71,18% , 24,28% masih sekolah, dan 4,58% memilih tidak sekolah atau belom sekolah. Adapun ketimpangan yang terjadi pada perdesaan hanya 69,62% serta mengalami penurunan dari wilayah perkotaan, yakni 2,36%. Dengan demikian diagram di atas memperlihatkan bahwa pendidikan Indonesia masih belum merata dan menjangkau wilayah perdesaan. Oleh karena itu, SDM (Sumber Daya Manusia) di Indonesia masih terbatas sehingga menghasilkan indeks yang rendah. Akomodasi menjadi hambatan terbesar penyebaran buku bacaan ke wilayah perdesaan.
Ketimpangan kualitas pendidikan antara perdesaan dan perkotaan juga digambarkan melalui masyarakat yang melek huruf. Masyarakat perdesaan lebih banyak yang masih buta huruf dibandingkan masyarakat perkotaan. Dari laju peresentase melek huruf berumur 15 tahun ke atas tahun 2012-2021 wilayah perdesaan mengalami peningkatan setiap tahunnya atau lebih stabil dibandingkan wilayah perkotaan yang mengalami fluktuatif. Dengan demikian, pemerintah bersama lapisan masyarakat berupaya membangun budaya membaca di perdesaan melalui program-program sosial.
Pendidikan dan Kebudayaan terdapat kurang lebih 6000 taman bacaan yang tersebar di seluruh Indonesia ( Kuwando: 2017). Melalui taman bacaan inilah angka buta huruf di Indonesia antara tahun 2012-2021 mengalami penurunan walau begitu angka buta huruf pada umur 45 tahun ke atas menduduki peringkat pertama yang paling banyak mengalami buta huruf. Umur 15 tahun ke atas menduduki peringkat kedua yang menunjukkan bahwa dominan masyarakat Indonesia hanya lulus SMP (Sekolah Menengah Pertama). Terakhir rentang usia 15-45 tahun menduduki peringkat terakhir yang paling rendah mengalami buta huruf.
Salah satu program sosial yang aktif dilakukan adalah pembangunan taman bacaan. Dari data yang dilansir KementrianKrisis Literasi Indonesia Menjadi Penyebab Informasi Hoaks Tersebar di Sosial Media
Dilansir Republika krisis literasi Indonesia memengaruhi penyebaran informasi hoaks yang kerap kali kita jumpai di media sosial. Melalui minat bacaan yang tinggi, masyarakat akan cenderung lebih kritis dan memilah informasi yang baik untuk dikonsumsi. Selain itu, penyebaran informasi hoaks juga didukung oleh presentase penduduk lima tahun ke atas yang sudah memiliki handphone. Kemajuan zaman dan teknologi mempermudah anak di bawah umur tanpa pengawasan menyebarkan informasi yang tidak didasari oleh fakta.
Kenaikan grafik pada tahun 2021 dinilai membuat literasi membaca tulis menjadi berkurang dan justru melahirkan kebiasaan baru yaitu kebiasaan lisan, mutakhirkan status, banyak bertutur dengan jari tanpa berpikir terlebih dulu, hingga akhirnya menurunkan minat membaca buku.
Akibat dari menurunnya literasi memberikan dampak yang cukup komplikasi terhadap dunia pendidikan saat ini. Salah satu permasalahan yang dihadapi di Indonesia saat ini adalah rendahnya tingkat kemampuan berpikir kritis. Seperti yang sudah diketahui, berpikir kritis merupakan kemampuan untuk mengekspresikan ide-ide yang dimiliki untuk dikembangkan. Tidak heran jika masyarakat Indonesia masih terperangkap dalam informasi atau berita hoaks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H