Perubahan zaman membawa arus digital yang memikat hati masyarakat. Perlahan analog mulai ditinggalkan oleh beberapa kalangan, tetapi siapa sangka di sudut Jalan ABC Blok U-1, Braga, Sumur Bandung berdiri sebuah Pasar Antik yang masih bertahan sejak tahun 2012. Ketika pertama kali mengunjunginya, langkah kaki seakan kembali menjelajahi masa lalu di tengah arus digital.
Deretan kios berdesakan di lantai tiga Pasar Antik Cikapundung, Bandung. Menjajakan berbagai barang antik yang sarat akan kenangan masa lampau. Mulai dari tumpukan surat cinta yang tidak bertuan. Perangko dari berbagai belahan dunia dan zaman Soekarno yang dijual senilai Rp 1000.Â
Buku serta novel yang setiap sudutnya mulai menguning dan tidak bisa ditemukan di pasaran. Peralatan dapur hingga barang elektronik yang mengingatkan nuansa rumah nenek dan kakek. Samar-samar, alunan musik tahun 90-an terdengar dari sebuah vinyl tua yang dijual mulai dari satu juta rupiah.
Bekerjasama dengan Redrawscenter, Galaya Corner, menghadirkan para fotografer untuk memberanikan diri memamerkan hasil karyanya. Tentu saja, hal ini menjadi bonus tersendiri buat kalian yang sedang mencari barang antik dan ingin belajar secara khusus oleh ahlinya.
 Peralihan Bisnis Konvensional ke Digital Hingga Wisata Supernatural
Dilansir Detik.news, Senin, 2 Maret 2020, pertama kali Indonesia mengonfirmasikan kasus covid-19 dan beberapa bulan, kemudian lockdown di sebagian besar wilayah Indonesia diberlakukan. Hal ini membuat para pemilik kios Pasar Antik Cikapundung Bandung beralih bisnis dari konvensional ke digital untuk bertahan dari krisis ekonomi selama pandemi. Â
Jeje selaku pemilik kios dari lama menuturkan bahwa sebelum pandemi, Pasar Antik Cikapundung Bandung, buka sampai malam hari, tetapi semenjak pandemi beberapa kios sudah tutup sejak pukul lima sore. Namun, kios miliknya masih buka hingga malam hari.
Kios berdinding hijau tersebut terletak di depan lift lantai tiga Pasar Antik Cikapundung. Nuansa magis beserta eksklusif dapat kita rasakan ketika pertama kali menelusuri setiap bagian kios milik Jeje. Deretan jam analog berjajar di atas meja kayu sebelah kiri.Â
Teropong bintang berbahan paralon berdiri di tengah meja kios. Sebuah kursi goyang berdiri kokoh di sudut berlawanan. Mengingatkan akan potongan adegan horor dari sebuah film. Sorot lampu yang redup dan kumandang azan maghrib menyelimuti setiap jengkal kios. Meninggalkan kesan misterius.Â
"Kalau pertama kali ke sini pasti ngerasain hawa yang kurang mengenakkan, tetapi kalau sudah dari lama bukan hal yang aneh lagi. Malah sudah bersahabat, tetap positif thinking saja dan jangan melamun serta sompral kalau mau datang malam hari, " cerita Jeje ketika kami berbincang sebentar di depan kios miliknya karena hawa yang sudah berbeda sembari menikmati santapan berbuka puasa.