Mohon tunggu...
ALYA NASYWA ARIYANTO
ALYA NASYWA ARIYANTO Mohon Tunggu... Mahasiswa - UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Penulis saat ini merupakan mahasiswa semester 5 di program studi Hubungan Internasional.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hijau yang Tercemar : Ketika Isu Lingkungan Jadi Alat Perebutan Kekuasaan

22 Januari 2025   19:15 Diperbarui: 22 Januari 2025   19:15 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini isu lingkungan tidak sekedar menjadi persoalan para aktor ilmiah, tetapi juga menjadi sebuah medan perebutan tarik-menarik kepentingan politik. Politisasi isu  lingkungan semakin hari mencuat di tengah berbagai sorotan publik akibat dari pembatalan proyek tambang yang ada di kawasan konservasi hingga munculnya klaim pemimpin yang ramah lingkungan demi menaikkan popularitas. Penyusupan politik pada isu lingkungan semakin menjadi-jadi di tengah sorotan publik. Apakah langkah ini dapat membawa perubahan atau hanya menjadi alat untuk mempermudah meraih kekuasaan?

Penyusupan politik pada isu lingkungan telah menjadi fenomena global yang dikenal oleh berbagai kalangan, dari konferensi iklim COP 27 hingga adanya kebijakan lokal yang kerap berubah akibat seiring bergantinya rezim. Di Negara Indonesia sendiri kasus dari pemberhentian proyek tambang di Pulau Wawonii Provinsi Sulawesi tenggara menjadi salah satu contoh konkret terkini. Warga sekitar menolak kehadiran proyek tersebut karena merasakan mendapat ancaman terhadap ekosistem dan mata pencaharian warga setempat. Keputusan untuk menghentikan proyek tidak hanya berdasarkan oleh analisis lingkungan, melainkan terdapat adanya tekanan politik menjelang pemilu. Seiring dengan hal tersebut, di kancah internasional berbagai negara maju seperti Amerika Serikat  dan China memiliki perselisihan terhadap tanggung jawab mereka terhadap krisis iklim. Kedua negara menggunakan isu ini dengan tujuan untuk memperkuat posisi geopolitiknya. Sedangkan para negara berkembang mendapatkan kesulitan antara kebutuhan pembangunan ekonomi dan mendapat tekanan untuk mematuhi standar lingkungan global. 

Di sisi lain, adanya politisasi isu lingkungan dapat menjadi sebuah katalisator positif untuk perubahan, contohnya ketika politik hijau yang terjadi di Uni Eropa berhasil mendorong inovasi teknologi yang ramah lingkungan, seperti pembuatan kendaraan listrik dan energi yang terbarukan. Partai partai politik yang membawa agenda lingkungan ke parlemen kerap kali berhasil untuk membawa pergerakan kebijakan yang cukup baik dan signifikan. Di Negara Indonesia sendiri, komitmen yang dilakukan oleh pihak pemerintah untuk mencapai tujuan emisi nol bersih (net zero emission) pada tahun 2060 menunjukkan atas pengakuan betapa pentingnya keberlanjutan lingkungan. Walaupun terdapat sebuah skeptisme dalam hal ini, namun langkah ini menunjukkan bahwasannya isu lingkungan saat ini menjadi salah satu prioritas politik yang tidak dapat lagi diabaikan oleh berbagai pihak.

Namun, dengan adanya politisasi lingkungan juga dapat menimbulkan manipulasi serta inkonsistensi kebijakan. Contohnya yaitu greenwashing yang digunakan oleh pihak perusahaan atau aktor politisi yang bertujuan untuk memberikan perbaikan terhadap citra mereka tanpa adanya perubahan nyata pada praktik lingkungan. Politisasi kerap kali terlihat sebagai penyebab adanya konflik horizontal, seperti contoh yang terlihat pada konflik sengketa lahan antara masyarakat adat dan para korporasi besar yang mendapatkan dukungan oleh pihak pemerintah. Selain itu, agenda isu lingkungan juga kerap kali menjadi korban dari pragmatisme politik. Terdapat berbagai kebijakan lingkungan yang berubah arah bahkan berhenti sepenuhnya akibat bergantinya rezim. Hal ini tidak hanya merugikan dari sektor lingkungan saja, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. 

Dalam upaya menghindari berbagai dampak negatif yang muncul pada politisasi isu lingkungan, diperlukan beberapa langkah yang dapat diambil. Pertama, dalam pengambilan keputusan diperlukan transparansi yang tinggi. Kebijakan lingkungan tidak diperbolehkan hanya berdasarkan kepentingan politik jangka pendek, tetapi juga perlu dilakukan kajian ilmiah yang solid dan konkret. Kedua, penguatan dari peran masyarakat sipil juga perlu ditingkatkan. Kegiatan kampanye lingkungan perlu melibatkan warga, komunitas lokal dan para aktivis dengan tujuan untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan benar benar menghasilkan dampak positif. Terakhir, kerangka hukum diperlukan lebih kuat untuk memberikan perlindungan politik dari kegiatan eksploitasi politik. Isu lingkungan tidak hanya menjadi masalah beberapa pihak, melainkan menjadi masalah bersama yang membutuhkan sinergi antara pemerintah, warga setempat dan dunia internasional. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun