Mohon tunggu...
Alya Khalisa
Alya Khalisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

World from my point of view.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Maraknya Revenge Porn: Perlindungan Korban dan Penghormatan terhadap Privasi Online

9 Juni 2023   17:18 Diperbarui: 9 Juni 2023   17:33 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penggunaan teknologi digital dan media sosial telah membuka pintu bagi perkembangan yang luar biasa dalam cara kita berkomunikasi dan berbagi informasi. Namun, kemajuan ini juga telah menyebabkan peningkatan masalah serius, salah satunya adalah maraknya revenge porn.

Istilah pornografi non-konsensual atau lebih sering dikenal dengan nama revenge porn adalah tindakan yang dilakukan seseorang untuk membalas dendam dengan cara menyebarluaskan konten intim mengenai individu lain tanpa seizin mereka atau tanpa consent dengan tujuan untuk mengancam korban. Revenge porn termasuk dalam bentuk kekerasan di dunia siber (cyber crime) yang merupakan bagian dari Kekerasan Berbasis Gender Online (online gender-based violence) untuk mempermalukan dan merendahkan korban yang banyak ditemui dan melibatkan pelaku dari lingkup terdekat. Biasanya pasangan atau mantan pasangan.

Maraknya revenge porn akhir-akhir ini dapat dikaitkan dengan kemajuan teknologi dan kemudahan akses ke internet. Teknologi memungkinkan penyebaran materi tersebut secara cepat dan luas, sedangkan anonimitas online dapat mendorong pelaku untuk bertindak dengan lebih kejam.

Revenge porn melibatkan pelaku yang dengan sengaja memanfaatkan materi seksual yang sebelumnya dibagikan secara rahasia dalam konteks hubungan pribadi. Dengan niat jahat, mereka menyebarkan materi tersebut secara luas melalui internet, media sosial, atau platform berbagi file lainnya, dengan tujuan untuk merendahkan, mempermalukan, atau melukai korban. Dampaknya terhadap korban sangat serius dan meliputi gangguan emosional, kerusakan reputasi, dan gangguan dalam kehidupan pribadi dan profesional mereka.

Di Indonesia sendiri, perlindungan terhadap korban revenge porn oleh kepolisian perlu ditinjau kembali untuk dapat menangani kasus ini. Penanganan kasus pornografi balas dendam selalu berakhir dengan korban yang seharusnya dilindungi oleh hukum malah menjadi tersangka dan membuat video klarifikasi. Alih-alih mendapat perlindungan hukum, korban malah mendapat caci maki dan hujatan netizen kemudian ditetapkan menjadi tersangka oleh kepolisian. Seharusnya pihak kepolisian melindungi korban dan segera menangkap dan menahan pelaku penyebar konten tersebut.

Polda Metro Jaya menetapkan Gisella Anastasia dan Michael Yokinobu De Fretes sebagai tersangka kasus video porno yang tersebar pada Desember 2020 silam. Hal tersebut juga terjadi pada Ariel NOAH, Luna Maya dan Cut Tari yang ditetapkan sebagai tersangka kasus video porno yang tersebar pada tahun 2010. Belum lama juga terjadi, Rebecca Klopper tersangkut kasus video porno yang beredar di media sosial.

Untuk itu, hukum yang ada di Indonesia mengalami kekeliruan karena menetapkan seseorang yang terlibat dalam video porno sebagai tersangka. Menurut South China Morning Post, membuat konten dewasa di Indonesia dapat mengakibatkan hukuman penjara dan tampil sebagai model atau objek dalam konten pornografi adalah ilegal. Namun, penulis konten vulgar atau seksual tidak dapat dikriminalisasi. Di bawah Undang-Undang Pornografi, pemilik konten memiliki hak privasi untuk berhubungan seks dan merekamnya untuk kepentingan pribadi. Selama tidak digunakan secara komersial. Penyelidik harus fokus untuk menemukan pelaku yang menyebarkan konten pribadi ke publik tanpa persetujuan dari mereka yang terlibat. Mereka masih menjadi korban pornografi balas dendam. Meskipun publik figur. Korban pornografi balas dendam bisa menyerang siapa saja, tanpa memandang status sosialnya.  

Selain itu, perlindungan korban revenge porn juga harus didukung oleh upaya pendidikan publik yang intensif. Kampanye kesadaran tentang bahaya revenge porn dan konsekuensi hukum yang terkait diperlukan untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap privasi online. Pendidikan ini harus dimulai sejak dini, melibatkan sekolah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat untuk memberikan pengetahuan yang tepat kepada generasi muda tentang pentingnya menghormati privasi orang lain dan konsekuensi yang mungkin terjadi jika melanggar batasan tersebut.

Selain upaya legislasi dan pendidikan, platform media sosial dan perusahaan teknologi juga harus berperan aktif dalam melindungi privasi dan menghentikan penyebaran revenge porn. Penting bagi mereka untuk mengadopsi kebijakan yang ketat terkait penyalahgunaan seksual dan memastikan tindakan cepat dalam menghapus konten yang melanggar privasi orang lain. Pengguna juga perlu dilibatkan untuk melaporkan kasus revenge porn dan mendapatkan dukungan yang diperlukan dari platform tersebut.

Penulis: Alya Khalisa Putri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun