Saya kasih paham. Saat Ganjar datang ke Palu atau Lombok, namanya belum setenar sekarang. Saat itu masih tahun 2018. Nama Ganjar bahkan belum disebut-sebut sebagai calon presiden. Lha wong yang nyapres saat itu Jokowi dan Prabowo kok.
Ganjar itu Gubernur Jateng, tapi rasa kemanusiaannya tak perlu diragukan. Tak hanya untuk rakyatnya, kepeduliannya ia lakukan bahkan untuk masyarakat luar Jateng yang tertimpa bencana. Ganjar nggak butuh apresiasi. Orang tahu kalau dia melakukan itu tulus dari dalam hati.
Tapi ya begitu. Niat baik belum tentu ditanggapi baik.
Seperti saat Ganjar mengirim bantuan untuk korban banjir DKI Jakarta. Banyak orang yang nyinyir, dan mengatakan Ganjar hanya cari sensasi belaka. Apalagi, setelah itu Jateng juga dilanda banjir. Para pembenci Ganjar langsung tepuk tangan. Mereka berteriak, Ganjar sombong sih, sok yes kirim bantuan untuk korban banjir Jakarta segala. Padahal daerahnya sendiri kebanjiran. Karma tuh.
Saya heran saja mendengar itu. Emangnya daerah yang rajin kirim bantuan bencana nggak boleh kena bencana?Logika sederhananya. Ketika kita mengunjungi orang sakit, apakah kita tidak boleh sakit?. Ketika kita takziah ke orang meninggal, apakah kita tidak boleh meninggal?
Ganjar tahu bagaimana hidup berdampingan dan bertetangga yang harus saling memberi dan membantu. Dia sadar, Jateng harus membantu karena suatu saat juga butuh dibantu. Bisa saja besok atau lusa, giliran Jateng yang tertimpa bencana. Kita tak pernah tahu, karena hari nahas tak ada di kalender.
Konsistensi. Sejak dulu begitulah Ganjar. Dimana ada bencana, ia mencoba hadir untuk meringankan beban sesama. Mereka yang tidak suka akan mudah bilang pencitraan. Tapi kita semua tahu, waktu lah yang akan membuktikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H