Mohon tunggu...
Alya Husnia Azzahra
Alya Husnia Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ekonomi Pembangunan

Saya adalah mahasiswa dari jurusan Ekonomi Pembangunan di salah satu Universitas di Indonesia. saya orang yang selalu bersemangat dan pantang menyerah. Saya memiliki ketertarikan tinggi di bidang finansial, Perpajakan, bisnis, dan kepenulisan. .

Selanjutnya

Tutup

Financial

Kilas Balik Gejolak Harga Saham Gabungan pada Bursa Efek Indonesia Pra dan Pasca Pandemi Covid-19

6 Desember 2023   13:50 Diperbarui: 6 Desember 2023   14:25 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi grafik saham (sumber:Pexels.com/Burak The Weekender)

Pandemi Covid 19 merupakan suatu kondisi yang sangat mengkhawatirkan pada tahun 2020 silam. Wabah virus ini pertama ditemukan di Wuhan, Tiongkok, pada bulan Desember 2019. Lalu, penyebaran dari virus ini yang sangat cepat hingga hampir seluruh dunia terkena dampaknya, termasuk Indonesia. Adanya pandemi ini berdampak besar pada perekonomian suatu negara termasuk Indonesia, yang mana dengan banyaknya masyarakat terpapar Covid 19 dan jumlah angka kematian yang semakin tinggi membuat roda perekonomian dari produksi dan transaksi perdagangan menjadi melemah.

Hal ini membuat lemahnya daya beli masyarakat, dapat membuat investor menarik dana yang telah di investasikan dan lebih memilih untuk menunggu waktu yang tepat agar dapat berinvestasi kembali dengan aman dan mengikuti perkembangan situasi pasar. Sementara itu, pandemi covid 19 juga berdampak pada ini pasar saham di Indonesia. Pergerakan kondisi saham saat sebelum (pra) dengan sesuah (pasca) pandemic pastinya itu sangatlah berbeda.

Berdasarkan data IHSG BEI, pada tahun 2018 nilai IHSG dalam penutupan di bulan Juni merupakan level terendah dari seluruh indeks, berada di posisi 5799,24 poin. Nilai IHSG sebelumnya di bulan Mei sebesar 5983,59 poin. Sebenarnya dari mulai bulan April hingga Juli nilai IHSG berada di level rendah. Sehingga hal tersebut menunjukkan tren turun atau melemah, maka harga saham juga ikut menurun pada saat itu.

Sementara itu, nilai IHSG yang menunjukan level tertinggi di tahun 2018 pada penutupan bulan Januari berada di posisi 6605,63 poin, yang mana terjadi tren meningkat terhadap nilai penutupan IHSG bulan Desember 2017 sebesar 6355,65 poin. Faktor pendorong IHSG pada sepanjang Januari 2018 mengalami tren kenaikan yaitu karena sejumlah sektor saham yang awalnya underperform di tahun 2017 menunjukkan performa yang baik pada 2018, contohnya konstruksi. Sejumlah sektor lainnya yang mebantu mengangkat IHSG diantaranya sektor tambang, konsumsi, dan keuangan.

Perkembangan IHSG pada tahun 2019 menunjukan fluktuasi. Dalam periode 2019 terdapat nilai IHSG di level terendah pada bulan November sebesar 6011,83 poin. Hal ini disebabkan oleh laju perekonomian Hong Kong yang resmi pada saat itu memasuki periode resesi. Bagi Indonesia, Hong Kong merupakan mitra yang sangat penting terutama dalam hal berinvestasi. Hal ini dibuktikan sepanjang sembilan bulan pertama di tahun 2019, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat bahwa realisasi PMA setara dengan 8,2% yang disumbang oleh investor dari Hongkong.

Sementara itu, di bulan Januari 2019 nilai IHSG berada di level tertinggi apabila dibandingkan dengan semua level pada bulan-bulan yang ada di tahun 2019 nilai itu sebesar 6532,97 poin, hal ini menunjukan kenaikan 1,06 % atau 68,7 poin. Nilai tersebut juga lebih tinggi dari rata-rata keseluruhan penutupan IHSG di 12 bulan tahun 2019 yaitu 6324,66. Serta, mengalami tren kenaikan dibandingkan desember 2018.

Selama bulan Januari 2019 IHSG menunjukan kenaikan positif dengan penguatan sebesar 5,46 % yang didukung dengan aksi net buy asing sebesar Rp13,43 triliun. Selain itu, investor juga banyak yang kembali menyerbu pasar setelah The Fed pada saat itu mempertahankan kebijakan suku bunganya. Hal tersebut berpotensi diikuti Bank Indonesia, dimana berdasarkan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 16-17 Januari 2019 memutuskan untuk mempertahankan BI-7 Day RR sebesar 6%, dengan suku bunga deposit facility 5,25% dan suku Bungan lending facility sebesar 6,75%. Hal ini dilakukan juga untuk mempertahankan daya minat aset keuangan domestik.

Keadaan pra pandemi Covid 19 dilihat dari periode Januari-Desember 2018 dan 2019, menunjukkan standar deviasi pada periode Januari-Desember 2018 sebesar 262,40 dan pada periode 2019 sebesar 149,59. Hal ini menunjukkan perbandingan di periode tahun 2018 nilai standar deviasinya lebih tinggi dari periode 2019, oleh sebab itu pada periode 2018 menunjukan harga suatu aset saham bergerak tidak beraturan yang membuat instrumen saham itu sangat berisiko. Sementara itu, pada periode 2019 menunjukkan pergerakan harga saham yang tidak terlalu fluktuatif. Sehingga probabilitas munculnya risiko atas saham tersebut juga lebih rendah.

Kondisi pasca pandemi Covid 19 periode Januari-Desember 2022 dan Januari-Oktober 2023. aktivitas pasar modal sepanjang tahun 2022 ini mengalami pertumbuhan yang positif, hal ini dapat dibuktikan dari kinerja IHSG mencapai 6850,62 pada bulan Desember 2023 (hal ini menunjukkan peningkatan 4,09% dari posisi Desember 2021). Pertumbuhan IHSG pada tahun 2022 ini menunjukkan level tertingginya pada bulan April sebesar 7228,91 poin. Selain itu, berdasarkan hasil siaran pers KSEI menyatakan bahwa pencapaian positif turun tercermin dari peningkatan minat masyarakat dalam berinvestasi di pasar modal Indonesia. Diketahui total investor Indonesia di pasar modal Indonesia per 28 Desember 2022 meningkat 37,5 persen menjadi 10,3 juta investor dari yang sebelumnya 7,48 juta per akhir Desember 2021. Peningkatan ini merupakan hasil upaya BEI dan stakeholders dalam melalui sosialisasi, edukasi, serta literasi kepada masyarakat. Sehingga, dari adanya pencapaian positif di tahun 2022, dapat menumbuhkan semangat baru pada tahun 2023.

Kondisi selanjutnya pada periode Januari-Oktober 2023. Pada penutupan perdagangan Januari 2023 IHSG berada di level 6838,34 poin yang menunjukkan tren penurunan dibandingkan Desember 2022 sebesar 6850,62 poin, yang mana turun 12,2 poin. Pelemahan ini disebabkan oleh kondisi pasar yang masih memperhatikan perilisan inflasi dalam negeri dan suku bunga acuan Federal Reserve. Lalu, pada bulan Oktober 2023 penutupan akhir bulan IHSG menunjukan nilai sebesar 6752,21 poin lebih rendah dari penutupan di bulan September sebesar 6939.89 poin. Salah satu hal yang mempengaruhi yaitu investor asing terus keluar dari pasa saham negeri ditengah ketidakpastian ekonomi global dan konflik di Timur Tengah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun