Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada 25 Maret 2022, sebuah kasus penodongan di Jalan Pungkur, Kota Bandung viral di media sosial. Hal yang disorot dalam kasus ini adalah saat penodong melakukan aksinya kepada seorang siswa SMP di tengah-tengah keramaian, namun tidak ada satupun yang menolong siswa tersebut. Kejadian ini membuat saya semakin ngeri dan yakin bahwa di dunia banyak orang jahat . Akan tetapi, kemudian kejadian ini juga mengingatkan saya kepada dua istilah yang ada dalam karya Thomas Hobbes, De Cive (1651).
Istilah pertama yang gambarannya adalah kasus penodongan tersebut adalah Homo homini lupus, yang berarti manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.
Istilah ini menggambarkan tindakan-tindakan kejam manusia terhadap manusia lainnya, menggambarkan bagaimana hawa nafsu dan naluri hewani manusia bisa menguasainya. Istilah ke dua adalah Homo homini socius, yang merupakan penentang dari homo homini lupus. Istilah ini berarti manusia adalah teman bagi sesamanya, atau manusia adalah sesuatu yang ‘sakral’ bagi sesamanya.
Kedua istilah ini berdampak besar terhadap cara saya memandang manusia. Bagaimana rasa takut dan pengharapan terhadap manusia-manusia, membuat gelas ketenangan di dalam hidup terasa kosong.
Seperti saat saya menginjakkan kaki pertama kali di kota Yogyakarta, dengan raga yang saat itu berjalan bersama ruh yang terasa “kosong dan hampa”, serta dengan berbagai gemuruh yang begitu sukar untuk di jabarkan. Dengan harapan, tempat baru memberikan nyawa baru, saya berusaha melangkahkan kaki untuk menjalani hari-hari saya di Yogyakarta.
Beberapa minggu di Yogyakarta, pernah di suatu sore, masih dengan perasaan hampa, saya bepergian dengan menggunakan salah satu aplikasi penyedia jasa antar jemput. Menit-menit pertama yang hening pecah saat bapak yang saat itu mengantarkan saya ke tempat tujuan berusaha membuka percakapan dengan menanyakan daerah asal dan tempat saya kuliah.
Percakapan itu berakhir dengan saya yang mengetahui bahwa saya dan salah satu putri beliau berada di universitas yang sama. Setelah itu, suasana kembali hening. Saya heran bahkan sudah berprasangka buruk dan sedikit cemas, karena si bapak membawa motor kami melaju hanya dengan satu tangan, sementara tangan yang lainnya sibuk mengotak-atik ponsel. Beberapa menit kemudian, si bapak menunjukkan layar gawainya.
“Ini dia screenshot-an kelulusan anak Bapak. Wah,waktu itu senang sekali rasanya. Apalagi anak bapak sempat ragu dan takut tidak diterima. Bingung nenanginnya gimana, akhirnya saya jelaskan saja kalau manusia hanya bertugas untuk berusaha, sisanya tetap urusan Allah kan. Terus saya keinget nih, di agama kita kan, diajarkan ya untuk menjaga dan merawat hubungan dengan Allah dan sesama manusia (hablum minallah dan hablum minannaas). Jadi saya suruh dia buat banyak-banyak berdoa dan minta ke Allah, dan saya minta dia untuk terus berbuat baik dan menghargai orang-orang disekitarnya”, ujar Bapak dengan nada bicara yang terdengar sangat bahagia.
Mendengar ucapan beliau, saya menyadari bahwa akar dari kekosongan gelas ketenangan dan kehampaan, bahkan bisa jadi akar dari keributan di tengah-tengah masyarakat adalah bagaimana kurangnya kita sebagai manusia dalam menjaga hubungan dengan manusia lainnya. Masih cuek dan memandang dengan sebelah mata orang lain.
Akhirnya, dari percakapan sore itu, saya menelurusi ruang-ruang di internet, mencari-cari wadah/organisasi yang bisa membantu saya improve, dan mengisi kekosongan di ruang-ruang hati saya. Dan voalaa, bertemulah saya dengan rumah baru yang kini saya tempati. Sebuah komunitas, Isyarat Kalam.
“Awalnya sih saya dan teman saya nekat aja buat ngebentuk dan mulai komunitas ini. Modal Bismillah dan doa. Dari yang awalnya cuman berdua, sampai sekarang jadi bersembilan. Dari kenekatan itu, ga kerasa Isyarat kalam udah berjalan hampir dua tahun. Semoga kita di ridhoi Allah dan bisa terus bergerak sampai tahun-tahun berikutnya”, tutur mba Syaima’ yang merupakan salah satu pencetus terbentuknya Isyarat kalam dalam pertemuan pertama komunitas dengan anggota baru (13 Februari 2022).