Mohon tunggu...
Alya Andira
Alya Andira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

hallo

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Awal Perjalanan Konflik Rusia-Ukraina serta Solusi dan Peranan Indonesia

17 April 2022   12:15 Diperbarui: 17 April 2022   12:26 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah masa lalu adalah teori yang patut disoroti. Hal ini diperkuat dengan retorika Presiden Putin beberapa hari sebelum penyerangan. Presiden Putin mengatakan bahwa Ukraina adalah bagian lama dari Rusia. Dia juga mengatakan bahwa Rusia "dirampok" ketika Uni Soviet runtuh pada tahun 1991. Dia juga menuduh Ukraina sebagai "koloni" AS. Rusia memang sudah lama mencoba ikut campur dalam politik di Ukraina, namun sejak Rusia mencaplok Krimea pada tahun 2014, politik di Ukraina cenderung bertentangan dengan Rusia.

Pada 1.200 tahun yang lalu, Ukraina, Rusia dan Belarusia muncul di tepi Sungai Dnieper di Kievan Rus, negara adidaya abad pertengahan yang mencakup sebagian besar Eropa Timur. Meskipun demikian, Rusia dan Ukraina sangat berbeda dalam bahasa, sejarah, dan politik. Seperti yang dikatakan sebelumnya, presiden Rusia Vladimir Putin mengulang kembali pernyataannya soal Ukraina merupakan bagian dari peradaban Rusia, begitupun Belarusia. Namun, Ukraina memutuskan pernyataan Putin dengan membantah bahwa mereka bukan merupakan satu bagian dari Rusia. Hingga Ukraina melakukan revolusi sebanyak dua kali, tepatnya pada tahun 2005 dan 2014, yang bertujuan untuk menolak supremasi Rusia. Walaupun sudah dicegah dan dari awal Rusia telah mengingatkan agar Ukraina berhenti berusaha untuk menjadi satu bagian anggota NATO. Tetapi, Ukraina juga terus mencari jalan agar dapat bergabung Uni Eropa dan NATO.

Wall Street Journal terbit di tanggal 3 April 2022 menyebutkan bahwa lima hari sebelum serangan Putin dimulai, Kanselir Jerman Olaf Scholz meminta Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk menarik niatnya untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Namun, peringatan itu diabaikan dan perang pun pecah. Puluhan ribu orang menjadi korban terbuang.

Rusia tidak keberatan Ukraina menjadi anggota Uni Eropa (UE). Aksesi Ukraina ke NATO adalah ancaman geopolitik dan geopolitik sejati di pintu gerbang ke Rusia. Georgia, Belarus, dan Ukraina adalah negara penyangga bagi Rusia dan tidak mengizinkan ketiga negara tersebut bergabung dengan NATO. Rusia kehilangan kesabaran dan memecah setelah mendengar KTT NATO 2008 di Bucharest mengungumkan penerimaan Georgia dan Ukraina, meskipun mereka tidak menyebut waktunya.

Saat Menteri Luar Negeri AS James Baker dan pimpinan Soviet Mikhail Gorbachev bertemu pada tahun 1990, kedua pemimpin sepakat bahwa NATO tidak akan memperluas keanggotaannya ke timur. Profesor Johua Shifrinson menemukan bahwa Arsip Nasional Inggris, yang diterbitkan di Der Spiegel pada 28 Februari 1991, menjadi tuan rumah pertemuan staf politik Tingkat 1 di banyak negara anggota NATO. Assistant Secretary of State untuk wilayah Eropa dan Kanada, Raymond Seitz, yang mengatakan, "NATO tidak akan memperluas keanggotaannya ke Timur, resmi atau tidak resmi. Kita tidak ingin menarik keuntungan dan mundurnya tentara Uni Soviet dari Eropa Timur." Tapi pada nyatanya, beberapa negara mantan anggota Pakta Warsawa dan negara pecahan Soviet sudah masuk menjadi anggotanya.

Putin kehilangan kesabaran dan kepercayaannya pada NATO pada KTT NATO 2008 di Bukares. Intinya, Rusia tidak mengizinkan Ukraina bergabung dengan NATO dengan harga berapa pun.

Solusi dan peran Indonesia atasi Konflik Rusia-Ukraina

Solusi yang sekiranya bisa membantu konflik tersebut ialah: Pertama, Ukraina memutuskan untuk menjadi negara independen. Hal ini bisa dilihat setelah ketidakinginan NATO untuk membantu Ukraina di masa yang sudah terlambat. Kedua, baik Rusia maupun Ukraina kembali ke dalam Minsk Agreement dimana bermuat beberapa peraturan baru yang bisa menyesuaikan masa setelah konflik ini. Ketiga, NATO membatalkan keanggotaan Ukraina secara sepihak walau akan menimbulkan beberapa perpecahan dan pasti tidak akan mudah.

Indonesia sebagai negara yang mendukung prinsip kebebasan dan aktivitas dalam diplomasi menegaskan konsistensinya dalam menghadapi krisis di Ukraina.

Prinsip kebebasan dan aktivitas yang didukung Indonesia tidak sama dengan posisi netral, tetapi memiliki kebebasan untuk bertindak demi kepentingan nasional. Selain itu, Indonesia berupaya tidak hanya untuk mengikuti negara lain, tetapi juga untuk menyatakan pentingnya mematuhi norma hukum internasional.

Indonesia terus menyerukan penangguhan penggunaan kekuasaan untuk memungkinkan semua pihak menyelesaikan sengketa. Indonesia juga meyakini bahwa langkah terbaik terhadap situasi Ukraina saat ini adalah dengan mengeskalasinya agar proses negosiasi bisa lebih efektif dan membuka jalur bantuan kemanusiaan.

Mengenai posisi Indonesia dalam konflik antara Rusia dan Ukraina, pemerintah menekankan bahwa Indonesia harus bisa terus menjaga hubungan baik antara Rusia dan Ukraina karena kedua negara bersahabat dengan Indonesia. Pemerintah juga menghimbau kepada masyarakat untuk mewaspadai masalah Ukraina agar tidak menimbulkan perpecahan di antara masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia perlu bersatu untuk menjaga keutuhan wilayah Indonesia.

Mari kita ambil dari pengalaman Indonesia sebagai Ketua G20 dan Gerakan Non-Blok dimana Indonesia berada dalam posisi yang baik untuk memfasilitasi negosiasi di jalur damai. Indonesia memiliki banyak pengalaman dalam masalah ini. Kami juga dapat menyediakan model kerjasama ASEAN. Indonesia juga dapat memberikan bantuan kemanusiaan terhadap potensi tragedi kemanusiaan dalam konflik, seperti apa yang Indonesia lakukan di Rohingya saat itu.

Juga, presiden kita pada beberapa waktu lalu telah memperlihatkan sikapnya terhadap perang yang saat ini berlangsung antara Ukraina dan Rusia. Ia menyampaikan secuit pesan lewat Twitter dan meminta menghentikan perang walaupun tidak secara langsung menyebutkan nama negara. "Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia," pesan Jokowi pada akun Twitter @jokowi.

Dengan beberapa sikap dan peran yang telah disebutkan di atas, bisa kita simpulkan bahwa Indonesia tidak memperlihatkan adanya sikap menginginkan konflik perang yang sedang terjadi ini terus berlanjut dan malah menunjukkan sikap sebaliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun