Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran), dokter adalah orang yang memiliki profesi di bidang kedokteran dengan sertifikat kompetensi dan kewenangan medis dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Perannya mencakup berinteraksi dengan pasien, menganalisis gejala, dan mengobati berbagai macam penyakit atau cedera.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga kesehatan, dokter diatur oleh etika yang menjadi pedoman dalam bersikap, bertindak, maupun bekerja sama dengan pihak manapun. Di Indonesia sendiri Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), yaitu kumpulan norma untuk menuntun dokter di Indonesia selaku kelompok profesi berpraktik di masyarakat. Tanpa etika, meskipun memiliki pengetahuan dan keterampilan yang baik, seorang dokter dapat melakukan malpraktik atau kelalaian medis.
Banyak hubungan antara dokter dan pasien masih didominasi oleh pola paternalistik. Pasien cenderung menganggap dokter sebagai otoritas yang ahli dan paham akan berbagai keluhan penyakit yang mereka alami, sementara dokter melihat pasien sebagai individu yang awam tentang kondisi kesehatannya. Karena pandangan ini, pasien sering kali hanya mengikuti saran yang diberikan oleh dokter tanpa banyak bertanya, dan jika terjadi kesalahan atau kelalaian, mereka cenderung menyalahkan penyedia layanan kesehatan.
Pada tahun 2018, terjadi kasus malpraktik yang melibatkan seorang dokter kandungan berinisial HS di rumah sakit. Kasus ini bermula pada 20 April 2018, ketika seorang wanita bernama S datang ke RS GRHA Kedoya Jakarta Barat karena mengalami gangguan pada perut setelah berlatih muaythai. Tim dokter melakukan pemeriksaan dengan USG dan menduga bahwa S mengidap penyakit kista di rahimnya. S kemudian dirujuk ke dokter spesialis kandungan.
Keesokan harinya, yaitu 21 April 2018, S menjalani operasi pengangkatan kista. Namun, di tengah operasi, HS memutuskan untuk mengangkat kedua indung telur S. Ketika S akan meninggalkan dari rumah sakit pada 24 April 2018, HS memanggilnya dan memberitahu bahwa kedua indung telurnya telah diangkat dan dia tidak akan bisa memiliki keturunan. HS menyatakan bahwa dia merasa dilema di tengah operasi karena menemukan tanda-tanda kanker pada indung telur S, sehingga dia memutuskan untuk mengangkat keduanya sekaligus tanpa persetujuan S. Hotman Paris Hutapea selaku kuasa hukum S mempermasalahkan persetujuan pasien terhadap prosedur operasi yang akan dilaksanakan. Hotman menyebut tim dokter tidak meminta persetujuan S dan mengobservasi lebih awal untuk menentukan apakah S benar-benar mengidap kanker atau tidak sebelum melakukan operasi.
Pelanggaran ini mencerminkan ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip etika kedokteran, terutama prinsip informed consent. Informed consent menuntut bahwa pasien harus sepenuhnya memahami prosedur medis yang akan dilakukan serta risiko dan manfaatnya sebelum menyetujuinya. Setiap prosedur medis yang bersifat invasif harus didiskusikan dan mendapatkan persetujuan dari pasien terlebih dahulu. Tindakan medis invasif yang dilakukan tanpa persetujuan pasien dapat dianggap sebagai tindakan pidana penganiayaan, terutama jika melibatkan penggunaan pembiusan.
Dalam kasus ini, proses pengangkatan indung telur dilakukan tanpa persetujuan yang tepat dari pasien yang bersangkutan. Keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan tidak hanya merupakan hak moral, tetapi juga suatu keharusan etis dalam praktik medis. Dalam Pasal 1320 KUHP pun disebutkan bahwa keputusan harus dibuat berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak tanpa adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan. Pasien berhak secara hakiki atas tubuhnya, sehingga setiap tindakan (baik secara diagnostik, maupun terapeutik) harus didasarkan atas persetujuan pasien. Tanpa informasi yang lengkap dan persetujuan yang diberikan secara sadar oleh pasien, tindakan medis seperti ini tidak dapat dibenarkan. Tenaga kesehatan dianggap melanggar hukum dan harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran menyatakan bahwa persetujuan tindakan kedokteran diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Ketidakpuasan pasien atau sengketa medis dapat timbul ketika dokter tidak memberikan penjelasan yang memadai kepada pasien atau keluarganya mengenai prosedur medis yang akan dilakukan. Hal ini menjadi lebih serius jika tindakan medis tersebut mengakibatkan kehilangan organ tubuh seperti yang terjadi dalam kasus ini.
Pasal 6 berbunyi bahwa Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien. Dokter yang lalai atas tindakan medis yang dilakukannya akan tetap bertanggung jawab.