Mohon tunggu...
Lu'lu' Ailiyazzahroh
Lu'lu' Ailiyazzahroh Mohon Tunggu... -

something about me...??

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berawal dari Tiket Kereta

28 Oktober 2014   14:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:28 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa suka itu adalah fitrah, melekat dalam diri manusia dan menjadi satu kesatuan yang utuh. Siapapun itu, setiap manusia yang dikatakan ‘normal’, pernah merasakan ini.

Aku termasuk dalam kategori normal dan wajar. Seperti halnya remaja-remaja lainya, yang pernah merasakan lika-liku, pahit-manis, dan ketar-ketirnya jatuh cinta. Entah sudah berapa kali aku merasakan hal itu, yang pasti ada hal yang lebih menonjol dan menempati tempat khusus tersendiri di hatiku.

Saat itu usiaku menginjak delapan belas tahun. Dia, adik kelas tiga tingkat di bawahaku. Aku baru lulus SMA dan ia baru kelas satu SMA saat itu. Orangnya asyik dan selalu membuatku tertawa. Aku mengenalnya lewat sahabatku, kebetulan dia juga sepupunya sahabatku. Saat itu aku bingung membeli tiket kereta untuk bersilturahmi ke rumah sahabatku yang berada di luar kota. Sahabatku menyarankan katanya mau dibelikan adik sepupunya yang rumahnya berada satu kota denganku. Aku mengiyakan, kupikir itu lebih simpel dan mudah sekali.

Akhirnya masalah tiket sudah selesai. Aku menghubungi dia, adik sepupu sahabatku itu. Hari-H, kami janji bertemu di depan Rumah Sakit, karena tempat itu yang paling gampang dijangkau mengingat betapa rumitnya jalan menuju rumahnya. Waktu sangat mepet dan keberangkatan kereta tinggal beberapa menit lagi. Kuhubungi dia berkali-kali sambil sesekali melirik jam. Aku gelisah takut ketingalan kereta, kakiku bergerak tidak karuan. Saat itu, aku diantar oleh ayahku.

Beberapa saat dia datang. Dia berkata minta maaf dan kemudian menyerahkan tiket itu kepadaku. Kuucapkan terima kasih dan tak sempat basa basi karena waktunya semakin mepet. Aku beranjak dari halamn Rumah Sakit saat itu juga. Beruntung karena kereta yang kutumpangi molor beberapa menit. Sambil menunggu waktu keberangkatan, kembali kuhubungi dia, kuucapkan kata terima kasih. Dia tertawa, “Terima kasihnya nggak usah diulang-ulang, Mbak” begitu katanya. Tanpa terasa, aku juga ikut tersenyum. Sepanjang perjalanan di kereta, dia selalu menghubungiku, “Awas jangan sampai ketiduran lho, Mbak” begitu katanya ia selalu mengingatkan. Aku semakin tersenyum mendapatinya. Tanpa sadar, entah mengapa ia semakin dekat saja denganku.

Hanya hitungan hari, dan frekuensi aku bertemu dengannya hanya dua kali. Baru kutahu, ternyata ia kurus sekali. Cerita ini sudah lama kudengar dari sahabatku, bahwa ia memang mengidap suatu penyakit. Sudah tiga kali operasi katanya. Aku miris melihatnya, tapi lelaki ini tidak pernah sekalipun kehilangan cerianya. Wajahnya pucat sekali saat mengantar tiket itu kepadaku, tapi sekalipun ia tak pernah berhenti tersenyum dan meminta maaf karena telah membuatku menunggu.

Ia selalu datang saat aku sendirian, ia selalu membuatku tertawa jika aku sedang bosan. Aku sungguh menyayanginya, aku menyayanginya sebagaimana aku menyayangi adikku. Sulit memang karena pada kenyataannya aku tak mempunyai adik kandung. Jadi perasaan sayang itu tak pernah kutahu apakah sama seperti perasaan kakak kepada adiknya, ataukah perasaan itu justru berbeda, dan mengindikasikan pada perasaan lain yang lebih spesial. Tak pernah kutahu hal itu.

Suati hari, ia berkirim pesan singkat padaku. Aku terkejut mendapatinya, bukan, malah aku tertawa. Ah, lucu sekali dia. Mana mungkin? Aku tak percaya hal itu. Dia adik kelas jauh dibawahku dan aku tak mungkin dengannya.

Sambil dengan masih dalam kondisi tertawa, aku membalasnya. Aku merasa dibodohi oleh anak kecil saat itu. Aku berkata bahwa sebenarnya aku sudah punya. Tapi dia tetep enjoy setelah aku berkata hal itu, seolah tak pernah terjadi sesuatu sebelumnya. dia tetap baik kepadaku, tetap membuatku tertawa meskipun frekuensinya tak sesering dulu.

Tapi ternyata aku salah. Kupikir semuanya akan berjalan normal seperti tak pernah terjadi sesuatu sebelumnya. Dia mulai ‘menghilang’. Terakhir aku mendengar kabar katanya ia sedang sakit, hanya sakit biasa, tidak sakit yang sampai opname di rumah sakit. Aku bersyukur mendengarnya.

Aku sudah jarang sekali berhubungan dengannya. Satu bulan berlalu dan aku menyadari bahwa kini dia benar-benar menghilang. Tak ada kontak lagi, tak ada yang membuatku tertawa. Entah mengapa rasanya duniaku menjadi sepi. Aku mulai merindukan dia, namun aku tak ada keberanian untuk menghubunginya lagi.

Beberapa waktu berlalu, dan entah bagaimana proses dan ceritanya, tanpa kutahu, tiba-tiba ia sudah jadian dengan sahabatku itu. Aku tak percaya.

Aku? Tersenyum mendengar berita itu, tapi ada sisi lain yang tak dapat dibohongi, ternyata hatiku sakit sekali. Dia dan sahabatku, sama-sama menempati tempat dengan porsi yang sama di hatiku. Sampai saat ini, tak ada yang tahu denganhatiku itu, pun dengan sahabatku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun