Kemajuan teknologi yang sangat berkembang saat ini dan semakin meningkatnya pertumbuhan  penduduk Indonesia menyebabkan  kebutuhan  energi semakin  meningkat. Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT). Jenis energi baru terbarukan yang saat ini sedang dikembangkan oleh dunia yaitu tenaga surya dan tenaga angin (Bosman & Putra, 2024). Konsumsi energi di Indonesia masih didominasi oleh penggunaan bahan bakar fosil, khususnya energi yang bersumber langsung dari  minyak bumi, gas, dan batu bara. Apabila penggunaan bahan bakar fosil ini dilakukan secara terus menerus, maka hal tersebut dapat berdampak pada peningkatan Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Apabila GRK semakin meningkat, hal tersebut dapat menyebabkan perubahan iklim yang ekstrem serta bencana di atmosfer.
Indonesia sebagai negara tropis mempunyai energi matahari yang tinggi potensi energi dengan iradiasi rata-rata 4,5 kWh/m2/hari - 5,0 kWh/m2/hari, artinya untuk 1 Kw panel surya fotovoltaik (PV) atau 1 kWp berpotensi menghasilkan energi listrik 3,4 kWh hingga 5 kWh dalam satu hari (Arishinta & Suryani, 2021). Salah satu contoh pengembangan EBT tenaga surya yaitu solar cell. Teknologi panel surya terus mengalami perkembangan untuk meningkatkan efisiensi, stabilitas, dan kemudahan produksi. Solar cell menggunakan teknologi pengendalian perangkat penjejak titik tegangan maksimum, sehingga panel akan selalu bekerja pada titik tegangan maksimum dan efisiensinya bernilai sama dengan efisiensi tegangan maksimumnya (Suryana, 2016). PLTS tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca selama operasi, sehingga menjadi solusi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Penggunaan energi surya memungkinkan dapat membantu Indonesia mencapai target pengurangan emisi karbon dan mendukung komitmen global terhadap perubahan iklim.
Indonesia memiliki potensi energi angin yang signifikan, terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Menurut berbagai studi, potensi energi angin di Indonesia mencapai sekitar 60,6 gigawatt (GW). Wilayah-wilayah seperti Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Pantai Selatan Jawa memiliki kecepatan angin yang cukup tinggi, menjadikannya lokasi ideal untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga angin (PLTB). Energi angin tidak menghasilkan emisi GRK selama operasinya, sehingga menjadikannya sebagai salah satu sumber energi yang paling ramah lingkungan. Pengembangan PLTB dapat membantu Indonesia mengurangi jejak karbon dan mendukung target pengurangan emisi nasional. Dengan menggunakan energi angin sebagai sumber energi listrik, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang harganya cenderung fluktuatif. Hal ini dapat membantu mengurangi biaya energi dan meningkatkan keberlanjutan ekonomi.
Selain EBT energi surya dan energi angin, saat ini Indonesia juga mengembangkan potensi energi air menjadi Mini/Micro Hydro atau PLTMH. Potensi sumber daya yang dapat dimanfaatkan dimanfaatkan sebagai PLTM dan PLTMH mencapai 19.358 MW (Harsoyo et al., 2015). PLTM dan PLTMH memanfaatkan kondisi pasang surut air laut untuk mengubah energi kinetic menjadi energi listrik. Dengan menggunakan PLTMH sebagai sumber energi listrik, Indonesia memungkinkan untuk dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang harganya cenderung fluktuatif. Hal ini dapat membantu mengurangi biaya energi dan meningkatkan keberlanjutan ekonomi. Penggunaan PLTMH dapat membantu meningkatkan keterjaminan energi, mengurangi ketergantungan pada energi fosil, dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya penggunaan energi terbarukan.
Penggunaan EBT di Indonesia telah menjadi salah satu prioritas pemerintah dalam upaya meningkatkan keterjaminan energi dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Namun, penerapan Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia masih memiliki banyak kendala dan cenderung tetap menjadikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama yang digunakan masyarakat pada saat ini. Proyek EBT, seperti pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan lain-lain, memerlukan biaya awal yang tinggi. Keterbatasan akses terhadap pendanaan dan minimnya insentif dari pemerintah sering kali menjadi hambatan utama. Investor cenderung enggan berinvestasi karena risiko dan ketidakpastian terkait regulasi dan pengembalian investasi.
Selain itu, pengembangan dan adopsi teknologi EBT yang canggih memerlukan tenaga ahli yang terampil dan berpengetahuan. Akan tetapi, Indonesia masih kekurangan sumber daya manusia yang terlatih dalam bidang teknologi energi terbarukan. Untuk itu, perlu dilakukan peningkatan kapasitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan di bidang teknologi energi terbarukan sangat diperlukan. Kerjasama dengan institusi pendidikan, penelitian, dan pelatihan internasional dapat membantu transfer teknologi dan pengetahuan. Pemerintah juga harus mendorong program-program pendidikan dan pelatihan khusus di bidang EBT. Dalam usaha meningkatkan penyediaan energi primer dengan memanfaatkan penggunaan EBT, pemerintah menetapkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) melalui peraturan presiden, Perpres No 79/2014 yang menetapkan penggunaan energi baru dan terbarukan untuk mencapai bauran Energi primer sebesar 23% di tahun 2025 dan diharapkan terus meningkat menjadi 31% pada tahun 2050. Kebijakan pemerintah ini ditetapkan sebagai Rencana Umum Energi Nasional yang tercantum dalam Perpres No 22/2017 (Pramudiyanto, 2020).
Di Indonesia sendiri pemanfaatan EBT untuk dijadikan sebagai sumber energi primer masih sangat jauh dari target pemerintah di tahun 2030. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain keterbatasan lahan, biaya pembangunan yang sangat mahal, serta sulitnya kondisi geografis yang mendukung untuk dibangunnya pembangkit. Energi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dan berkontribusi dalam pembangunan nasional sehingga pemerintah memerlukan strategi yang tepat untuk mencapai tujuan sosial, ekonomi, dan pembangunan jangka panjang yang berkesinambungan (Azhar, 2018). Transisi energi juga merupakan salah satu tujuan utama diadakannya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di Indonesia. Diperlukan kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat untuk fokus pada energi terbarukan, mencapai tujuan Indonesia yang lebih bersih, dan melaksanakan transisi energi untuk mencegah perubahan iklim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H