Mohon tunggu...
Alwin Ramli Sasmita
Alwin Ramli Sasmita Mohon Tunggu... Sejarawan - Writter and researcher

Sosial budaya, Humaniora, ekonomi dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penyelesaian Pertikaian Suku di Adonara Melalui Pernikahan

10 Maret 2022   09:55 Diperbarui: 10 Maret 2022   12:39 1212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: https://id.pngtree.com

Dalam film-film kolosal sering kita jumpai bahwa pernikahan sering digunakan sebagai jembatan untuk membangun aliansi antar kerajaan. Namun fungsi pernikahaan tersebut masih dapat kita jumpai pada beberapa suku di Indonesia, salah satunya di Adonara, Nusa Tenggara Timur. Pertikaian antarsuku di Adonara masih sering terjadi hingga sampai saat ini. 

Pertikaian tersebut sering dilandasi dengan perebutan lahan. Klaim atas lahan yang didengungkan masing-masing kelompok atau suku biasanya melibatkan pengerahan massa yang cukup besar dari waktu ke waktu. Berdasarkan analisis terhadap data SNPK (Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan), konflik antarsuku cenderung terjadi akibat permasalahan batas wilayah desa, status kepemilikan tanah ulayat, konflik lahan domestik, dan perebutan lahan pertanian atau lahan garapan.

Melansir dari Antaranews (5/03/2020), bahwa telah terjadi pertikaian antar dua suku yang mengakibatkan sejumlah enam orang tewas dalam perang untuk memperebutkan lahan. Perang tersebut dikenal dengan istilah “perang tanding”. Umumnya masyarakat yang bersengketa memiliki hukum adat yang berbeda dari masing-masing suku yang ada di Adonara. Masing-masing suku sangat memegang teguh hukum adatnya. Hal tersebut dikarenakan sudah mendarah daging dalam segi kehidupan sehari-hari, dan juga menjadi kontrol sosial dari masyarakat adat dalam mengatur perilaku masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan norma-norma sosial yang telah ditentukan. 

Tak dapat dihindarkan bahwa sejarah mengenai asal-usul pertikaian antarsuku di Adonara, namun sampai saat ini pertikaian tersebut masih terus berlanjut. Pada abad ke-16, Adonara menjadi salah satu daerah yang dijadikan tempat tinggal para imigran keturunan Portugis dan penduduk pribumi beragama Katholik yang berasal dari Malaka.

Pertikaian antarsuku di Adonara berawal dari “perang hinga” yang terjadi pada tahun 1904 untuk menguasai atau memperluas wilayahnya. Sengketa tanah ini telah menyebabkan aksi saling membakar rumah dan perang tanding. Kemudian pada tahun 1982 terjadi lagi perang tanding antarsuku atau warga desa di Adonara hingga menimbulkan korban jiwa. Perang ini bukan hanya sekadar untuk memperebutkan lahan, melainkan untuk mencari pembuktian atas kebenaran dari sengketa tersebut. Bila dari pertikaian tersebut ditemukan suatu suku lebih banyak menelan korban jiwa, maka suku tersebut menjadi pihak yang salah. 

Berbagai upaya penyelesaian sedang ditempuh oleh pemerintah daerah setempat. Melansir dari Antaranews (25/03/2020), Pemerintah Kabupaten Flores Timur bersama aparat TNI-Polri telah membentuk tim percepatan perdamaian guna menangani pertikaian di Adonara, khususnya Kecamatan Witihama. Penyelesaiannya pun tetap mengedepankan unsur musyawarah dengan menggunakan tokoh adat setempat sebagai pimpinannya. Hasilnya pun menyatakan bahwa masyarakat di Adonara sepakat untuk tidak bertikai kembali. Untuk dapat mempertahankan perdamaian seutuhnya, melalui perkawinan antarsuku juga dapat menjadi penguat perdamaian.

Solusi tersebut dapat dijadikan sebagai upaya lanjutan  untuk mempertahankan perdamaian di Kecamatan Witihama yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Flores Timur dan aparat TNI-Polri. Hal ini berkaitan bahwa masing-masing suku di Adonara sangat memgang teguh hukum adatnya.

Wilayah Pulau Adonara sendiri termasuk dalam lingkungan hukum adat Timor dan dikenal dengan nama kukuban hukum adat Lamaholot. Pada lingkup budaya ini memiliki tingkat toleransi mengenai adanya orang dari luar yang ingin masuk ke dalam suatu kelompok atau suku. Namun, hal tersebut harus pula diimbangi dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang tersebut. Hal ini biasanya terjadi melalui perkawinan beda suku. Persyaratan yang diminta pun harus dipenuhi oleh individu yang bersangkutan, seperti “welin” atau ”jujur” yang kita kenal sebagai mahar yang berupa gading gajah sebagai sarana yang paling umum. Hal ini diperlukan agar tidak muncul masalah baru dari perkawinan yang akan dilangsungkan antarsuku di Adonara. Gading gajah ini dapat dijual dan dijadikan modal bagi penerimanya. Jika orang tua mempelai wanita puas dengan apa yang dipersembahkan, maka perkawinan tersebut akan berlangsung. Dalam kasus perceraian, pihak pria tidak boleh lagi menuntut mahar atau uang tebusan yang sudah dibayarkan. Dengan aturan-aturan adat biasanya dapat melestarikan ikatan perkawinan di kalangan penduduk. 

 Perlu diketahui bahwa di Adonara terdapat beberapa lewotanah dengan batas-batas wilayah yang tegas dan merupakan kesatuan dari tempat tinggal dari beberapa suku. Meninjau dari aspek kekeluargaan, masyarakat atau suku-suku di Adonara termasuk dalam kategori sistem kekeluargaan patrilineal, yakni sistem kekeluargaan yang ditarik dari garis laki-laki atau bapak.

Kebiasaan sebelum melakukan perkawinan dalam hukum adat di Adonara ialah dengan memberikan welin. Hal ini juga menjadi corak utama dari perkawinan dalam persekutuan dari sistem kekeluargaan patrilineal di Adonara.

Dalam sistem kekeluargaan patrilineal, pemberian welin adalah suatu perbuatan hukum yang juga menimbulkan akibat hukum. Tentu sangat berbeda dengan sistem kekeluargaan parental yang memaknai pemberian tersebut sebagai hadiah perkawinan. Oleh karena itu, pemberian welin dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan harus sejalan dengan peninjauan sistem kekeluargaan dari daerah tersebut. Gambaran sistem keluarga ini didukung juga oleh faktor lain yaitu adanya keharusan kawin keluar (eksogami) atau kawin dengan orang dari luar sukunya sendiri dengan pemberian welin sebagai salah satu syarat utama. Sebab dalam hukum adat Adonara terdapat larangan perkawinan endogami, baik endogami keluarga maupun endogami suku. Namun keharusan kawin eksogami ini masih disertai dengan larangan kawin timbal balik antar dua suku.

Masyarakat Adonara yang merupakan masyarakat unilateral dengan sistem kekeluargaan patrilineal memiliki titik pusat yang tertuju kepada laki-laki sebagai pengambil keputusan baik dalam urusan keluarga maupun dalam urusan suku secara keseluruhan. Bahkan penggolongan seseorang ke dalam suatu suku juga dilihat dari garis laki-laki.

Jika laki-laki dan perempuan yang berbeda suku melaksanakan suatu upacara perkawinan, maka secara langsung perempuan tersebut akan masuk ke dalam suku pihak laki-laki. Selanjutnya anak yang kemudian lahir pun akan secara otomatis masuk ke dalam suku pihak laki-laki. Anak tersebut akan menjadi keturunan keluarga bapaknya dan bukan keturunan bagi keluarga ibunya. Artinya terdapat beberapa larangan dan batasan-batasan dalam mengadakan hubungan antara seorang anak dengan keluarga ibunya, seperti batasan melakukan perkawinan dengan orang-orang dari keluarga ibunya maupun batasan kewenangan dari keluarga ibunya, kecuali ada permintaan dari keluarga sang ibu.

Refrensi

Didik Pradjoko. 2007. “Pelayaran, Perdagangan, dan Perebutan Kekuatan Politik dan Ekonomi di Nusa Tenggara Timur: Sejarah Kawasan Laut Sawu Pada Abad ke XVIII-XIX”. Tesis. Depok: FIB UI.

Didik Pradjoko. 2015. “Kerajaan Larantukan dan Politik Kolonial Belanda: Dinamika Politik Lokal di Kawasan Flores Timur, Kepulauan Solor dan Timor Barat 1851-1915”. Disertasi. Depok: FIB UI.

Hilman Hadikusuma. 2006. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: PT Alumni.

Mesak Jeremies Pello. 1975. Beberapa Aspek Hukum di Nusa Tenggara Timur. Ende: Nusa Indah.

Surojo Wignjodipuro. 1979. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Bandung: Alumni.

Jonas Kelemens Gregorius Dori Gobang. 2014. “Konflik Budaya Lokal Pada Masyarakat di Pulau Flores: Sebuah Analisis Komunikasi Lintas Budaya”. Jurnal Komunikasi. Vol. 9, No. 1.

The Habibie Center, Kajian Perdamaian dan Kebijakan, Edisi 05 November 2013.  

Z. A. Sangaji. 1982. Makna Pemberian Welin Oleh Pihak Laki-Laki Kepada Pihak Perempuan dalam Rangka Perkawinan Beserta Akibat Hukumnya di Adonara. Surabaya: Universitas Airlangga.  

Gede Dewangga Prahasta Dyatmika, Imam Kuswahyono, dan M. Hamidi Masykur. “Peran Kepala Adat dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Nepang Antara Desa Adobala  dengan Desa Redontena di Kecamatan Klubagolit, Adonara: Studi di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur”. Diakses dari http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/874, pada Selasa, 28 July 2020, pukul 16.20 WIB.

Aloysius Lewokeda. 2020. “Warga Dua Suku di Adonara Sepakat tak Ingin Berkonflik Lagi”. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1359050/warga-dua-suku-di-adonara-sepakat-tak-ingin-berkonflik-lagi, pada Selasa, 11 Agustus 2020, pukul 15.32 WIB.

_______. 2020. “Flores Timur Bentuk Tim Percepatan Perdamaian Konflik Lahan di Adonara”. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1379742/flores-timur-bentuk-tim-percepatan-perdamaian-konflik-lahan-di-adonara?utm_source=antaranews&utm_medium=related&utm_campaign=related_news, pada Selasa, 11 Agustus 2020, pukul 15.37 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun