Dalam sistem kekeluargaan patrilineal, pemberian welin adalah suatu perbuatan hukum yang juga menimbulkan akibat hukum. Tentu sangat berbeda dengan sistem kekeluargaan parental yang memaknai pemberian tersebut sebagai hadiah perkawinan. Oleh karena itu, pemberian welin dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan harus sejalan dengan peninjauan sistem kekeluargaan dari daerah tersebut. Gambaran sistem keluarga ini didukung juga oleh faktor lain yaitu adanya keharusan kawin keluar (eksogami) atau kawin dengan orang dari luar sukunya sendiri dengan pemberian welin sebagai salah satu syarat utama. Sebab dalam hukum adat Adonara terdapat larangan perkawinan endogami, baik endogami keluarga maupun endogami suku. Namun keharusan kawin eksogami ini masih disertai dengan larangan kawin timbal balik antar dua suku.
Masyarakat Adonara yang merupakan masyarakat unilateral dengan sistem kekeluargaan patrilineal memiliki titik pusat yang tertuju kepada laki-laki sebagai pengambil keputusan baik dalam urusan keluarga maupun dalam urusan suku secara keseluruhan. Bahkan penggolongan seseorang ke dalam suatu suku juga dilihat dari garis laki-laki.
Jika laki-laki dan perempuan yang berbeda suku melaksanakan suatu upacara perkawinan, maka secara langsung perempuan tersebut akan masuk ke dalam suku pihak laki-laki. Selanjutnya anak yang kemudian lahir pun akan secara otomatis masuk ke dalam suku pihak laki-laki. Anak tersebut akan menjadi keturunan keluarga bapaknya dan bukan keturunan bagi keluarga ibunya. Artinya terdapat beberapa larangan dan batasan-batasan dalam mengadakan hubungan antara seorang anak dengan keluarga ibunya, seperti batasan melakukan perkawinan dengan orang-orang dari keluarga ibunya maupun batasan kewenangan dari keluarga ibunya, kecuali ada permintaan dari keluarga sang ibu.
Refrensi
Didik Pradjoko. 2007. “Pelayaran, Perdagangan, dan Perebutan Kekuatan Politik dan Ekonomi di Nusa Tenggara Timur: Sejarah Kawasan Laut Sawu Pada Abad ke XVIII-XIX”. Tesis. Depok: FIB UI.
Didik Pradjoko. 2015. “Kerajaan Larantukan dan Politik Kolonial Belanda: Dinamika Politik Lokal di Kawasan Flores Timur, Kepulauan Solor dan Timor Barat 1851-1915”. Disertasi. Depok: FIB UI.
Hilman Hadikusuma. 2006. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: PT Alumni.
Mesak Jeremies Pello. 1975. Beberapa Aspek Hukum di Nusa Tenggara Timur. Ende: Nusa Indah.
Surojo Wignjodipuro. 1979. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Bandung: Alumni.
Jonas Kelemens Gregorius Dori Gobang. 2014. “Konflik Budaya Lokal Pada Masyarakat di Pulau Flores: Sebuah Analisis Komunikasi Lintas Budaya”. Jurnal Komunikasi. Vol. 9, No. 1.
The Habibie Center, Kajian Perdamaian dan Kebijakan, Edisi 05 November 2013.