Mohon tunggu...
Alwin Ramli Sasmita
Alwin Ramli Sasmita Mohon Tunggu... Sejarawan - Writter and researcher

Sosial budaya, Humaniora, ekonomi dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Homoseksual di Hindia Belanda

15 Februari 2020   02:38 Diperbarui: 15 Februari 2020   03:09 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
digitalcollections.universiteitleiden.nl

Berangkat dari kasus LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) yang sedang marak di abad ke-21, khususnya mulai menyerang negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. 

Seperti yang kita ketahui bahwa Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen, dan mayoritas masyarakatnya masih memegang teguh nilai perkawinan dengan jenis kelamin yang berbeda. Untuk saat ini sering kita jumpai di beberapa tempat terutama di wilayah perkotaan, beberapa dari masyarakat kita memandang masalah LGBT bukan suatu hal yang tabu.

Jika ditarik mundur, pada masa pemerintah kolonial kasus semacam itu telah dilarang oleh pemerintah kolonial. Bahkan mendapat kecaman keras dari pemerintah kolonial karena dianggap menodai nila-nilai yang sudah melekat dalam tatanan masyarakat Hindia Belanda.

Asal Kata Homoseksual dan Penggunaannya

Dikutip dalam buku Membongkar Rahasia Jaringan Cinta Terlarang Kaum Homoseksual yang ditulis oleh Rama Azhari dan Putra Kencana, kata homoseksual berasal dari bahasa Yunani, yaitu homo berarti "sama" dan bahasa lisan sex berarti seks.

Istilah homoseksual ini mulai ada pada tahun 1896 oleh Dr. Karl Maria Kerbeny, seorang dokter berkebangsaan Jerman-Hongaria. Istilah ini mulai terkenal pertama kali di Jerman melalui pamflet yang tidak diketahui nama penulisnya. Tak lama kemudian, istilah tersebut mulai tersebar luas ke seluruh dunia melalui tulisan Richard Freither Von Kraft-Ebing.

Michel Foucault juga telah memberikan penjelasan bahwa gay muncul sebagai salah satu bentuk seksualitas ketika dialihkan dari praktek sodomi menjadi semacam androgini batin. Sodomi berasal dari kata "sodom" yang merupakan nama dari sebuah kota yang melegalkan hubungan seksualitas sesama laki-laki.

Makna sodomi sendiri pada abad pertengahan diartikan sebagai perilaku anal sex, baik antara sejenis maupun tidak sejenis. Tetapi perilaku ini lebih identik dengan istilah homoseksualitas dan umumnya sering digunakan sebagai istilah untuk perilaku seksual gay.

Konteks Hindia di Belanda

Dalam konteks Hindia Belanda, homoseksual masih menjadi pandangan yang tabu bagi mayoritas masyarakat bumiputera pada masa itu. Hal tersebut disebabkan karena masyarakat kita masih berpegang teguh pada ajaran moral, etika, dan agama sesuai dengan pendidikan dan kebiasaan masyarakat setempat. Sehingga kecendrungan seperti itu merupakan fenomena yang tidak dapat diterima begitu saja.

Kehadiran kaum gay di Hindia Belanda, khususnya pada yang mulai berkembang di tahun 1920-an. Orang-orang Eropa pada masa itu juga menganggap bahwa gay adalah orang-orang tercemar.

Tindakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
Salah satu praktik hubungan gay yang lazim dilakukan pada saat itu ialah antara pria Eropa dewasa dengan lelaki remaja bumiputera. Umumnya pria Eropa memiliki kehidupan yang mapan, salah satunya memiliki pekerjaan dengan gaji yang dapat dikatakan cukup besar.

Beberapa di antara mereka ada yang menjadi pejabat, pegawai pemerintah, dokter, pegawai perkebunan, polisi, tentara, kepala kantor, dan lain-lain. Sedangkan pria bumiputera biasanya hanya menggantungkan hidup pada pasangan Eropanya.

Mereka ada yang bekerja sebagai pembantu dan tinggal bersama di rumahnya, dan ada juga yang menjadi bawahan di perusahaan tempat pria Eropanya bekerja. Dengan memegang status superior atas orang pribumi, mereka menjerat orang-orang pribumi sebagai objek pemuas nafsu seksual mereka. Satu kasus yang memalkukan pemerintah kolonial ialah skandal yang menimpa memalukan pemerintah kolonial.

Skandal tersebut menimpa seorang Residen Batavia sekaligus merupakan kepala polisi Batavia, yakni Fievez de Malines. Residen tersebut tertangkap basah tengah melakukan perbuatan menyimpang dengan seorang lelaki muda bumiputera di sebuah hotel milik orang Tionghoa yang berlokasi di Bandung.

Peristiwa itu tidak hanya menghebohkan, tetapi menampar muka pemerintah kolonial. Karena moralitas kolonial memandang homoseksual sebagai aib bagi maskulinitas, maka seorang gay dianggap tidak layak untuk memegang jabatan dalam birokrasi pemerintahan.

Peraturan mengenai homoseksual juga tertera dalam Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang menganggap praktik homoseksual sebagai tindakan kriminal. Pada pertengahan Desember 1938, Jaksa Penuntut Umum H. Marcella menyimpulkan bahwa perbuatan kriminal homoseksual perlu perhatian serius. 

Kemudian Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachouwer mengeluarkan suatu kebijakan untuk memberantas kaum gay untuk menghadapi masalah tersebut. Kebijakan ini dikeluarkan pada akhir Desember 1938 sampai Mei 1939.

Selama kurun waktu tersebut pemerintah kolonial melalui satuan polisi Hindia Belanda mulai melakukan operasi besar-besaran di Hindia Belanda. Mulai dari wilayah Batavia, Bandung, Cianjur, Cirebon, Semarang, Salatiga, Magelang, Yogyakarta, Malang, Pamekasan, Medan, Padang, Palembang, Makassar, dan sejumlah kota lainnya. Meskipun dengan skala yang berbeda-beda, namun polanya tetap sama.

Sebanyak 200 orang lebih pria ditangkap di seluruh Hindia Belanda. Mayoritas yang ditangkap adalah orang Eropa termasuk pejabat tinggi pemerintah kolonial pada masa itu. Meskipun operasi tersebut dilakukan secara sistematis dan masif, akan tetapi masih ada yang berhasil lolos dari operasi tersebut. Sejumlah 223 orang ditahan untuk kepentingan prevensi internir, dan sebanyak 171 dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman oleh pemerintah kolonial.

Saya sependapat dengan para penulis yang mengkaji permasalahan ini bahwa aksi pembersihan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial tidak dapat dilihat sebagai aksi moral, tetapi hanya sebagai pencitraan pemerintah kolonial di mata kaum pribumi. Alasannya karena H. Marcella selaku Jaksa Penuntut Umum mendapat tekanan dari banyak pihak di dalam pemerintahan.

Secara hukum pemerintah kolonial tidak melarang aktivitas homoseksual di kalangan orang dewasa. Akar penyebab dalam pemberantasan tersebut ialah bahwa orang dewasa kulit putih saat itu melampiaskan nafsu seksualnya menyasar hingga ke kalangan pribumi yang masih di bawah umur.

Sumber Refrensi
Azhari, Rama dan Kencana, Putra. 2008.  Membongkar Rahasia Jaringan Cinta Terlarang Kaum Homoseksual. Jakarta: Hujjah Press.
Blombergen, Marieke. 2011. Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Boelstorff, Tom. 2005. The Gay Archipelago: Seksualitas dan Bangsa di Indonesia. New Jersey: Princeton University Press.
Foucault, Michel. 1997. Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitasi. Terjemah: Rahayu S. Hidayat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun