Mohon tunggu...
alwi hilir s.kom
alwi hilir s.kom Mohon Tunggu... Guru - Merubah generasi rapuh dengan ide inovatif

Belajar adalah suatu proses kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendekatan Transdisiplin, Peluang dan Tantangan Pendidikan di Era Disrupsi

23 September 2019   09:49 Diperbarui: 23 September 2019   10:30 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun, dia senang dan sangat tertarik pada komputer. Dia mempelajari sejarah dan filsafat Yunani Kuno ketika masih sekolah menengah atas dan kemudian mengambil program studi psikologi ketika kuliah pada level S-1. 

Pemahaman yang sangat penting dan jarang diketahui umum adalah bahwasanya yang membuat Facebook menjadi perusahaan raksasa di bidang
teknologi informasi seperti saat sekarang ini adalah hal-hal sangat terkait dengan psikologi, selain dengan teknologi Dalam berbagai perbincangan, Zuckerberg sering kali menunjukkan bahwa sebelum Facebook dibuat, banyak orang menutupi identitasnya di Internet. 

Boleh dikata, Internet adalah dunia tanpa nama dan asal-usul, dunia tanpa pengetahuan atas identitas seseorang (anonimity). Adapun pandangan Facebook sebaliknya. Kita dapat menciptakan budaya di mana seseorang dapat menunjukkan identitasnya secara jelas, masyarakat secara sukarela dapat menunjukkan diri mereka di hadapan teman-temannya, dan langkah ini akan menjadi program besar yang bercorak transformatif. 

Sudah barang tentu Zuckerberg memahami komputer sangat mendalam dan mampu menggunakan kode tertentu untuk meletakkan ide-idenya dalam praktik, namun pemahamannya tentang pentingnya psikologi kejiwaan manusia adalah kunci keberhasilannya. Mengikuti kata-katanya sendiri, bahwa dalam Facebook "porsi psikologi dan sosiologi sama banyak dan sama kuatnya dengan teknologi" (Zakaria 2015: 82-3).

Terpisahnya secara radikal antara sains dan teknologi di satu sisi dan sosial-humaniora di sisi lain dan implikasinya dalam kehidupan sosial-politik-keagamaan di era global mulai dirasakan dan sangat digelisahkan oleh para pengamat studi agama dan keislaman karena akan berakibat pada stabilitas dan instabilitas keamanan nasional dan perdamaian dunia. Perlu dicermati dengan sungguh-sungguh bagaimana merancang sistem pendidikan, perkuliahan, dan pembelajaran di perguruan tinggi di masa
depan. Setidaknya Khaled Aboe El-Fadl (Khaled Abou El-Fadl, 2005)
mengungkapkan fakta sebagai berikut:

"Menjadi orang modern yang sebenarnya menurut muslim puritan adalah kembali ke belakang dari segi waktu dan menciptakan kembali abad keemasan Islam. Meskipun demikian, ini bukan berarti bahwa mereka ingin menghapus teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Program mereka ini, dengan cara mengaburkan persoalan yang
sesungguhnya sedang dihadapi adalah sederhana. 

Manusia muslim hendaknya mempelajari teknologi dan ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh Barat, namun untuk tujuan menentang budaya Barat. Orang muslim tidak perlu mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. 

Itulah sebabnya banyak kaum puritan datang ke Barat untuk belajar, tetapi mereka selalu hanya memfokuskan studi pada ilmu-ilmu fisika, termasuk ilmu komputer dan semuanya tidak menganggap penting ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dibekali dengan ilmu-ilmu modern dan teknologi, puritan percaya bahwasanya mereka akan memiliki posisi yang lebih baik untuk menciptakan kembali zaman keemasan Islam dengan cara membangun masyarakat Islam seperti negara-kota yang dibangun era kenabian di Madinah dan Mekah."6

Ungkapan fakta ini jangan dianggap remeh. Ini sangat relevan dengan tantangan yang dihadapi oleh perguruan dan pendidikan tinggi di dunia dan di Indonesia, yang umumnya masih mengunggulkan pentingnya linearitas keilmuan dan menjauh dari upaya menyatukan kembali pandangan keilmuan alam, kemanusiaan, dan keilmuan sosial, termasuk ilmu-ilmu keagamaan. 

Dengan semakin kompleksnya perkembangan kehidupan dan keilmuan manusia, pandangan linearitas keilmuan harus ditinggalkan dan sejalan dengan napas liberal art education atau general education, pendidikan dan pembelajaran di Indonesia harus berani mencari alternatif baru yang lebih kondusif untuk menjawab tantangan zaman
dan kemanusiaan global. 

Para pemikir dan pengelola pendidikan dan perguruan tinggi harus berani melalukan perubahan secara fundamental. Ini bukanlah perubahan di wilayah pinggir-pinggir (changing from the edge). Mereka harus berani merancang ulang porsi perbandingan antara major dan minor. Mahasiswa yang mengambil major dalam sains harus dibuka kesempatan untuk mengambil minor dalam humanities, ilmu-ilmu sosial, termasuk studi agama dan keislaman, dan begitu pula sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun