---
Dengan langkah kaki yang mantap, Ari dan Melani berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit Daerah Artapuri. Sudah 2 hari mereka menunggu dan hari ini hari yang dijanjikan Suster Diana. Mereka sudah tak sabar ingin tahu dimana keberadaan ayah Melani sekarang. Terlebih Melani. Ia sungguh berharap dapat menemukan ayahnya.
Setelah melewati meja resepsionis, mereka berjalan menuju lorong luar. Di sana, Suster Diana sudah menunggu sambil membawa sebuah berkas. Melihat berkas di tangannya, Melani semakin tak sabar. Ia melangkah lebih cepat lagi hingga bertatap muka dengan Suster Diana secara langsung.
"Bagaimana? Apakah kau sudah menemukan berkas tentang papaku?" tanya Melani.
Mimik wajah Suster Diana langsung berubah. "Aku harus mengatakan hal ini pada kalian." Suster Diana menyerahkan berkas yang ia pegang pada Melani.
---
Di hadapan Melani, kini ia melihat sebuah makam tak terurus. Daun-daun kering serta semak belukar tumbuh di atas makam tersebut. Tanpa batu nisan, tanpa nama. Kondisi makan itu benar-benar memprihatinkan. Selain tempatnya yang kotor dan sendiri, ia juga seperti diasingkan jauh dari kota. Makam itu diletakkan di perbatasan kota Artapuri.
Mata Melani menatap kosong makam tersebut. Pandangannya nanar. Saking syoknya, Melani tak dapat bicara sama sekali.
Benarkah ini makam ayahnya? Bagaimana ia bisa tahu akan hal itu? Tak ada yang bisa menjamin bahwa ini adalah benar makam ayah Melani.
Mungkin Suster Diana salah. Ya. Ia pasti salah. Tak mungkin ayah Melani dikuburkan di tempat terpencil seperti ini. Melani mulai membuat beraneka penyangkalan dalam pikirannya untuk memuaskan diri.
Di samping Melani, Ari terus memandang wajah Melani dengan penuh rasa iba. Ari mengerti rasanya menatap pusara sang orang tua. Ari pernah mengalami itu. Dan itu sangat tidak mengenakkan.