Mohon tunggu...
AL Wijaya
AL Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis "Target Pertama", "As You Know", "Kembali ke Awal"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Batas (Prolog)

4 Juni 2019   15:33 Diperbarui: 4 Juni 2019   15:49 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara denting piano mengawali sebuah untaian melodi. Not demi not tercipta membentuk irama yang meneduhkan. Perlahan tapi pasti mengalun pelan dan terkesan santai.

Setelah beberapa bar, instrumen lainnya masuk memperkaya musik yang dimainkan. Tiupan saxophone serta gesekan cello menyatu dengan nada-nada dari piano. Ketiganya membaur secara harmonis menciptakan satu lagu yang utuh.

"Ku menempuh sedalam lautan

Ku mencari arti kehidupan"

Bersamaan dengan musik yang dimainkan, seorang penyanyi wanita mulai melantunkan lirik. Ia terpejam, berusaha menjiwai lagu yang ia nyanyikan. Tubuhnya meliuk seolah turut menceritakan kisah lagu tersebut. Bibirnya yang dilapisi gincu berwarna merah mendekat ke arah mikrofon.

"Mendaki gunung kekecewaan

Melelahkan"

Penyanyi itu jeda sejenak. Ia menarik nafas. Sedetik kemudian musik kembali melantun dan penyanyi kembali bernyanyi.

"Kau menjelma seperti khayalan

Kau impian dalam kenyataan

Perjalanan yang penuh likunya

Kini telah tiba di sisimu selamanya"

Suara sang penyanyi terdengar sangat merdu. Sangat cocok sekali dengan gubahan musik bernuansa jazz tahun 80an. Perpaduan keduanya benar-benar membuat jiwa tenang. Seolah pendengarnya terbawa terbang menembus awan-awan di langit biru nan cerah.

"Engkau bukan yang pertama

Tapi pasti yang terakhir

Di cintamu kutemui arti hidupku"

Bagian melodi lagu dimulai dengan suara saxophone yang mengambil nada tinggi. Sang saksofonis dengan lihai meniup dan memainkan jari-jarinya untuk menciptakan instrumen yang berkelas.

Tak mau ketinggalan, pemain cello juga menggesek alat musiknya menimpali suara dari saxophone. Keduanya memainkan musik dengan penuh perasaan. Kolaborasi mereka menyatu dengan baik. Hingga menghasilkan aransemen musik yang mahal.

Seiring dengan suara saxophone dan cello yang meredup, kini giliran sang pianis unjuk gigi. Ia menggerakkan jemarinya menari di atas tuts piano dengan sangat lihai. Nada-nada tercipta dengan indahnya. Di bagian akhir, suara saxophone dan cello kembali masuk membangun melodi lagu. Sang penyanyi pun kembali bernyanyi menuntaskan lagunya.

"Engkau bukan yang pertama

Tapi pasti yang terakhir

Di cintamu kutemui arti hidupku"

Suara penyanyi melemah di ujung lagu tergantikan oleh denting piano kembali. Ia yang mengawali lagu, ia juga yang mengakhiri. Sang pianis merangkai nada yang indah sebelum akhirnya menutup lagu dengan cantik.

Riuh tepuk tangan pun terdengar setelah kunci terakhir dibunyikan. Seluruh pengunjung bar memberikan apresiasi kepada pemain musik yang telah tampil. Mereka begitu menyukai musik tadi. Sangat menenangkan dan membius.

Di tempat duduknya, sang pianis memandangi keadaan bar di sekelilingnya. Dipenuhi pria yang sedang berpesta dengan para teman mereka. Mereka nampak terhibur dan tak henti-hentinya bertepuk tangan. Sesaat setelahnya, pianis tersebut menoleh ke arah meja bartender. Ia melihat bartender pria berusia 50 tahunan tengah melayani seorang tamu. Mata pianis itu tertuju pada minuman beralkohol botolan yang dipegang sang bartender.

---

Dengan gerakan cepat, Yandi menuangkan cairan whiski dari dalam botol ke sebuah gelas saji. Pengalamannya sebagai peramu minuman lebih dari 30 tahun sangat membantu pekerjaannya. Tak hanya dapat menyajikan minuman yang lezat, Yandi juga bisa melakukan atraksi ala bartender kelas dunia.

Yandi segera menyajikan minuman tersebut ke pelanggan di depannya. Sebagai imbalannya, pelanggan tersebut memberikan Yandi selembar uang 100 ribuan lalu pergi. Yandi pun mengambil uang tersebut lalu menyimpannya di mesin kasir.

"Barmu cukup ramai hari ini."

Mendengar suara seorang pria di dekatnya, Yandi segera menoleh. Ternyata sang pianis yang baru saja selesai tampil. Senyum Yandi merekah.

"Terima kasih, kau juga bermain bagus malam ini, Ari." puji Yandi.

"Aku akan terima pujianmu dengan segelas minuman yang dipesan pria tadi." kata Ari sambil menunjuk pelanggan yang baru saja pergi tadi.

Yandi melirik pelanggan tersebut lalu balik menatap botol wishki di tangannya.

"Bagaimana kalau malam ini aku tawarkan sesuatu yang lebih spesial dan lebih ramah untukmu." kata Yandi sambil menatap Ari.

"Ayolah, Yandi. Sudah hampir tiga minggu ini aku tak meminumnya."

"Tiga hari lalu kau meminumnya."

Ari tertunduk. "Kau tahu kan setiap malam kepalaku selalu sakit ketika aku tidak meminumnya. Cuma kau yang mengerti aku. Tolonglah..." wajah Ari memelas.

Kepala Yandi menggeleng. "Tidak. Aku tidak bisa memberimu kali ini, nak." Yandi membersihkan sebuah gelas minuman.

"Kumohon." Ari memohon pada Yandi. Ia menggenggam tangan Yandi dan menatap matanya.

Yandi pun merasa tak enak terutama ketika melihat raut wajah Ari yang memelas. Pancaran sinar matanya benar-benar membuat hati Yandi tergerak. Kepalanya pun menggeleng. Semoga ia tak salah.

"Baiklah. Hanya satu gelas. Lalu kau pulang." kata Yandi.

"Terima kasih..."

Dengan lihai Yandi menuangkan whiski ke dalam gelas lalu memberikannya pada Ari. Ari terlihat sumringah. Wajahnya girang.

"Jangan beri tahu tantemu soal ini." ucap Yandi.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun