Mohon tunggu...
ALWI HIDAYAT RUMALEAN
ALWI HIDAYAT RUMALEAN Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Alwi Hidayat Seorang Mahasiswa Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Korupsi Merupakan Penyalahgunaaan Kepercayaan untuk Kepentingan Pribadi yang Dapat Merugikan

10 Juli 2023   06:21 Diperbarui: 10 Juli 2023   06:49 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

    Pokok di atas diajukan untuk menerangi Dilema ini titik di satu pihak, kekayaan gejala selalu begitu kompleks dan mengandung kemungkinan arti tak terbatas, padahal artinya terbentuk melalui teropong tertentu. Dilanpiakoma teropong tertentu akan selalu membatasi (men-definisi-kan) arti gejala, hingga kekayaan gejala selalu lolos dari genggeman definisi. Itulah nasib konsep korupsi. Seperti akan diperlihatkan dalam bab-bab selanjutnya, konsep korupsi dalam lintasan sejarah punya kekayaan arti begitu luas. Secara khusus akan ditunjukkan dalam bab 6 bagaimana studi korupsi juga semakin ditandai keragaman pendekatan yang amat memperkaya refleksi, dan dengan itu juga keragaman arti dan definisi korupsi.

Bersama gelombang pendekatan itu juga terjadi lonjakan literatur studi dan kajian korupsi. Dari Khazanah literatur Inilah kita mewarisi konsep korupsi dewasa ini titik Beberapa bercorak studi konseptual yang mengkaji ulang arti dan definisi korupsi secara menggali pengertian korupsi dari zaman Silam.

   Antologi ini terus di perbarui dan menjadi rujukan banyak studi korupsi. Sejak itu berkembang pesat bukan hanya studi konseptual mengenai arti korupsi melainkan juga pelacakan historis arti korupsi. Maka bersama studi empiris yang melonjak secara menakjubkan, berkembang pula kajian teoritis yang mengelola soal konseptual. Apa yang khas dalam kajian teoritis adalah upaya membuka kembali persoalan definisi, dengan menempatkan arti korupsi dalam bingkai evolusi yang panjang. Di sini pisau analisis tidak lagi terbatas memakai satu bidang ilmu sosial tetapi mendayungkan kekayaan berbagai disiplin, seperti sejarah, sosiologi, ekonomika, antropologi, hukum, kriminologi, psikologi, filsafat etika, study kebijakan, dan sebagainya.

    Dalam Quran, arti korupsi yang sering dirujuk para ahli adalah ayat Albaqarah ini: " dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain Di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui entah dalam wujud barang atau uang", ayat Quran tersebut dipahami menuju pada suap sebagai pemberian kepada hakim dan pembuat putusan lain ke arah pertimbangan atau keputusan yang menguntungkan {pemberiannya}".

Franz Rosenthal, ahli study Islam dan sastra Arab, menunjuk sentralnya hukum dan putusan hakim dalam tradisi Islam dengan rumusan begini: " larangan menerima hadiah terbeban jauh lebih berat ke Punduh Hakim dibanding pejabat lain Sebab Hakim membedakan keagungan hukum agama dan harus mentaati serta menjunjung putusannya.

Perlu dikatakan bahwa arti degeneratif korupsi dari alam pikir Yunani dan Romawi kuno serta teologi abad pertengahan tetaplah dominan.

Namun, arti degeneratif korupsi ini kemudian mendapatkan suntikan pengertian baru selama zaman Renaissance. Suntikan baru ini paling jelas terlihat dalam pemikiran Niccolo Machiavelli (1469-1527), sekretaris Negara Republik Fiorenzia yang bertanggung jawab atas urusan militer dan persoalan luar negeri". Iya diberkati dengan kemampuan tak tertandingi untuk membongkar fakta di balik topeng, mengenai apa yang benar terjadi di balik ungkapan samar pada wajah atau perubahan ungkapan yang gegabah.

    Paham itu didasarkan pada keyakinan berikut. Jika tujuan pemerintahan adalah perdamaian dan kesejahteraan dan jika pemerintahan yang mengemban tujuan perdamaian dan kesejahteraan yaitu mau tetap bertahan cara terbaik adalah membentuk pemerintahan yang terdiri dari para warga negara berdaulat (sovereign self-government), dan warga berdaulat adalah warga yang bebas dan Merdeka titik gagasan ini sudah mulai berkembang pada akhir abad pertengahan dalam pemikiran para pujangga seperti Marsilius padua atau Bartolomeus Lucca. Inilah tradisi pemikiran politik yang kemudian disebut Republik kanisme namun, ada gunanya Disinggung sejenak perbedaan dua ciri aliran dalam tradisi politik ini yaitu Republik kanisme klasik dan Republikanisme warga.

Dalam bingkai tradisi pemikiran Republiklekanisme inilah arti korupsi menurut Machiavelli perlu dipahami. Ia membawa turun konsep korupsi dari ketinggian moral dan teologis di abad pertengahan: " keluar dari paham agustinian bahwa semua pemerintahan sipil dan kegiatan sipil berciri grup, dan sekaligus keluar dari paham Salisburian bahwa hanya tatanan politik dengan hukum Ilahi dapat mencegah korupsi". Korupsi tentulah persoalan moral, tetapi Machiavelli membawanya ke daratan imanen sebagai bagian persoalan membentuk pemerintahan Mandiri yang bebas dan berdaulat dalam Republik titik dalam ungkapan filsuf politik Leo estrous, keutamaan moral yang diajukan Machiavelli tidak diturunkan dari ketinggian kriteria transendental, melainkan dari kebutuhan dinamika pembentukan tatanan masyarakat itu sendiri". Dengan itu juga lompatan dari daratan keniscayaan hidup yang nyata ke kondisi kebebasan yang di idamankan akan melibatkan kompromi tidak Luhur pada keutamaan manusia.

     Sekilas akan terkesan bahwa kondisi yang disebut tidak korup ( dan dengan ini juga apa yang dianggap grup) tidak jauh berbeda dengan pengertian dalam alam pikir sebelumnya. Namun, Seperti telah disebut, Machiavelli tidak bisa tidak beroperasi dalam alam berpikir zaman ketika paham individualitas mulai berkembang. Meskipun hanya akan mekar di paruh kedua abad ke-18, mulai berkembangnya paham individualitas juga memunculkan pandangan bahwa Soalnya bukan terutama terletak pada kepentingan diri, melainkan dalam perbedaan antara kepentingan diri yang tercerahkan dan kepentingan diri yang sempit.

Maka, negara bagi hobes dipahami bukan sebagai otoritas dari luar itu(raja/ratu atau Tuhan) yang dititipkan kepada kehendak warga negara, melainkan kepanjangan kolektif Hasil perjanjian (social contract): "Tiap orang adalah pencipta Apa yang dilakukan oleh kekuasaan berdaulat itu, karena itu orang yang mengeluh tentang situasi celaka yang dilakukan kekuasaan berdaulat tersebut itu sama artinya mengeluhkan apa yang dia buat sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun