Mohon tunggu...
Alwi Djener Al Zaqhino
Alwi Djener Al Zaqhino Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna Madya Poltekip

Saya adalah seorang taruna tingkat II di Politeknik Ilmu Pemasyarakatan, selain itu saya adalah content creator di YouTube dengan subscriber 6,45K

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Terpinggirkan dari Demokrasi dan Terbentur Tembok Birokrasi, WBP Tak Terdata yang Kehilangan Suara

6 Februari 2024   23:30 Diperbarui: 6 Februari 2024   23:34 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam Pemilu Presiden pada 14 Februari 2024, setiap warga negara tentunya memiliki tanggung jawab dan hak untuk menggunakan hak suaranya untuk menentukan masa depan negara. Namun, terdapat sejumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang terpinggirkan dari demokrasi karena terbentur pada tembok birokrasi, yang mengakibatkan kehilangan hak suara mereka.

Aturan yang mengharuskan pemilih memiliki identitas resmi dan berkas tertentu menjadi bagian yang penting dalam menjaga integritas proses pemilu. Pada kasus WBP, terdapat kendala yang menghalangi mereka memenuhi persyaratan tersebut. Pertama dari Lapas Kelas 1 Malang, terdapat 339 WBP yang kehilangan Hak pilih nya, salah satu penyebab nya adalah tidak terdaftar dalam data pemilih. Kalapas Lowokwaru Kelas I Malang, Ketut Akbar Herry Achjar, menjelaskan bahwa ketidakterdaftaran saat pencocokan dan pendataan dapat terjadi karena berbagai alasan, termasuk kurangnya data yang disediakan oleh keluarga WBP. Hal ini menjadi kekhawatiran serius terkait partisipasi demokrasi WBP dalam proses pemilihan umum.

Selanjutnya terjadi di Rutan Kelas IIB Trenggalek, terdapat sebanyak 90 WBP terancam kehilangan hak pilihnya dikarenakan tidak dapat menunjukkan KTP EL atau dokumen identitas resmi lainnya sebagai syarat pindah pilih ke TPS Khusus di dalam Lapas yang telah disediakan oleh KPU. Muhammad Indra Setiawan selaku Komisioner KPU Trenggalek, mengatakan bahwa dari 419 WBP yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada tahapan pindah pilih, 114 di antaranya bebas, sedangkan lebih dari 200
WBP dihadapkan pada kendala tidak memiliki dokumen identitas yang diperlukan untuk persyaratan. Sebagian besar dari WBP tidak dapat menunjukan KTP EL, yang menjadi syarat utama dalam alur pindah pilih. Kendala ini mengakibatkan potensi kehilangan hak pilih bagi WBP tersebut, menekankan tantangan dalam menjaga hak partisipasi demokrasi bagi Warga Binaan Pemasyarakatan.


Opini ini mencerminkan perlunya evaluasi dan penyesuaian peraturan terkait identitas serta berkas yang diperlukan untuk memastikan setiap warga negara, termasuk WBP, dapat dengan mudah mendapatkan hak partisipasi dalam proses demokratis. Keberlanjutan demokrasi yang menyeluruh memerlukan keterlibatan seluruh elemen masyarakat, dan peraturan yang dapat mendukung partisipasi setiap individu, termasuk mereka yang berada di balik jeruji besi.


Kehilangan hak pilih bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang tercatat sebagai non-eksisten atau tanpa identitas dalam data pemilih memiliki dampak yang signifikan, tidak hanya pada individu yang bersangkutan tetapi juga pada struktur demokrasi dan keadilan sosial. Pertama, secara pribadi, hal ini dapat menimbulkan rasa terpinggirkan dan mengurangi kesempatan WBP untuk berpartisipasi dalam proses demokratis yang menentukan arah dan kebijakan pemerintahan yang akan mempengaruhi
kehidupan mereka secara langsung maupun tidak langsung dari sekarang sampai pada masa yang akan datang. Kedua, dari sudut pandang sistem demokrasi, kejadian kehilangan hak suara dari WBP juga dapat melemahkan keabsahan dan representasi hasil pemilu, karena tidak semua suara masyarakat terdengar. Hal ini berpotensi meningkatkan ketidakpercayaan terhadap proses demokratis. Ketiga, dalam konteks keadilan sosial, ketidakmampuan WBP untuk memilih menunjukan ketidaksetaraan dan diskriminasi, mengingat hak untuk memilih merupakan hak asasi yang seharusnya dijamin untuk semua warga negara, termasuk WBP. Dampak tersebut menunjukkan perlunya reformasi dan intervensi kebijakan untuk memastikan bahwa hak pilih dapat diakses oleh semua individu, termasuk mereka yang berada di dalam BUI

Dalam menghadapi Pemilihan Umum, terdapat kenyataan yang kurang mengenakan yang dialami oleh sejumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Jumlah yang cukup besar dari mereka, mencapai 339 di Lapas Kelas 1 Malang, ditemukan tidak terdata dalam daftar pemilih dan sebanyak 90 WBP di Rutan Kelas IIB Trenggalek terancam kehilangan hak pilihnya karena tidak dapat menunjukkan KTP EL atau dokumen identitas resmi lainnya sebagai syarat pindah pilih ke TPS Khusus di dalam Lapas yang telah
disediakan oleh KPU. Sebuah fakta yang mempertanyakan kejelasan keikut sertaan demokrasi bagi kelompok yang seharusnya juga memiliki hak untuk bersuara. Faktor penyebab utama ketidakterdataan ini menjadi sorotan utama. Salah satu penyebabnya adalah
hilangnya ingatan maupun kurangnya informasi yang disediakan oleh keluarga. Indra sebagai Komisioner KPU Trenggalek, mencatat temuan yang sering dihadapi WBP di Rutan, di mana orang atas nama B dan NIK B ternyata dimiliki oleh orang lain setelah dicek di DPT online. Situasi ini menciptakan hambatan bagi WBP dalam proses pencocokan serta pendataan. KPU masih menunggu sisa WBP yang belum dapat menunjukkan KTP EL hingga H-7 pemungutan suara atau tanggal 7 Februari 2024. Jika WBP tetap tidak dapat menunjukkan identitas mereka, kemungkinan besar mereka tidak dapat memilih karena keterbatasan kuota logistik yang disediakan berdasarkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dengan demikian, terkendalinya akses WBP dalam menyalurkan hak suaranya menjadi nyata. Situasi ini menciptakan ketidakjelasan terkait status para WBP yang tidak terdata, mengakibatkan
pembatasan hak pilih yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara. Perasaan terpinggirkan semakin mewarnai atmosfer jelang Pemilu. Para WBP yang tidak terdata merasakan betapa sulitnya untuk melampiaskan keinginan mereka dalam menentukan arah
kepemimpinan negara. Kehilangan hak suara bukanlah pilihan mereka, namun lebih merupakan hasil dari tembok birokrasi dan aturan yang kompleks. Kita dapat merasakan keinginan kuat dari para WBP untuk turut serta dalam proses demokratisasi.
Mereka, seperti kita semua, memiliki hak yang sama untuk ikut serta dalam menentukan masa depan bangsa. Namun, aturan dan birokrasi yang tidak selalu ramah terhadap kondisi WBP menjadi hambatan utama. Keterbatasan dalam mengumpulkan data identitas WBP dapat membawa dampak signifikan terhadap partisipasi mereka dalam Pemilu.

Sebagai masyarakat yang mendukung demokrasi, perluasan akses terhadap hak pilih adalah tuntutan moral. Oleh karena itu, langkah-langkah perbaikan sistem pencocokan dan pendataan di dalam lembaga pemasyarakatan perlu diperkuat. Hal ini tidak hanya untuk menjamin hak suara yang setara bagi WBP, tetapi juga untuk memberikan mereka ruang untuk berpartisipasi yang lebih luas dan melegitimasi keberadaan demokrasi yang inklusif. Tak terbantahkan, pemilu adalah suatu peristiwa penting yang menentukan arah masa depan negara. Oleh karena itu, merangkul partisipasi setiap masyarakat, termasuk WBP, adalah landasan yang harus kita jaga bersama. Jangan biarkan tembok birokrasi dan regulasi yang rumit merengut hak suara mereka, karena keberagaman pandangan dan aspirasi adalah pondasi kuat untuk demokrasi yang sejati. Perlu ditekankan kembali esensi utama dari demokrasi, yaitu hak suara setiap warga negara. Namun, ironisnya, masih banyak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang terpinggirkan dari proses
demokrasi, terbentur oleh tembok birokrasi yang mengakibatkan kehilangan hak suara mereka. Untuk menanggulangi ketidakadilan ini, pentingnya revisi aturan menjadi sorotan. Aturan yang dapat mengakibatkan diskriminasi terhadap WBP yang tidak terdata harus diperbaiki. Setiap warga negara, tanpa terkecuali, seharusnya dapat merasakan hak pilihnya dalam proses pemilu. Dengan demikian, sebagai solusi jangka pendek, perlu dilakukan upaya untuk memastikan bahwa setiap WBP terdaftar dengan benar dalam data pemilih. Langkah-langkah konkret, seperti pemeriksaan data dan peningkatan koordinasi antara lembaga-lembaga terkait, dapat membantu mencegah kehilangan hak suara yang tidak adil. Di samping itu, untuk solusi jangka panjang, revisi mendalam pada regulasi terkait hak suara WBP perlu dipertimbangkan. Revisi tersebut harus menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan memberikan hak pilih yang setara kepada semua warga negara, tanpa terkecuali. Sehingga, setiap suara, termasuk dari kalangan WBP, dapat diakui sebagai bagian dari proses demokratisasi negara.

Solusi jangka panjang yang dapat saya sarankan adalah penggantian KTP sebagai identitas utama dengan sistem sidik jari. Seperti yang kita ketahui, setiap individu memiliki pola sidik jari yang unik. Menurut saya, keunikan ini dapat dimanfaatkan menjadi identitas utama. Langkah awalnya adalah dengan mendata sidik jari seluruh warga negara yang kemudian diintegrasikan ke seluruh database di Indonesia, sehingga dapat diakses oleh semua instansi atau lembaga yang membutuhkan. Hal ini dapat menjadi
solusi yang baik karena seluruh data pribadi, termasuk data kesehatan, riwayat kriminal, dan lainnya menjadi terpusat menjadi dalam satu sistem. Dengan menggalang dukungan bersama, baik dari pemerintah, lembaga-lembaga terkait, maupun masyarakat umum, kita semua dapat menciptakan sebuah demokrasi yang sehat dan adil, di mana hak suara setiap warga negara dihormati dan diakui sebagai hak yang tidak dapat terlepas dari diri manusia itu sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun