Mohon tunggu...
Nur Cahyo
Nur Cahyo Mohon Tunggu... Konsultan - HRD Koplak

Curhat HRD Koplak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gerakan Tahan Nafsu Tanya "Kapan Kawin?" dan "Kamu Nambah Gemuk ya?" Saat Lebaran Besok

5 Juli 2016   07:29 Diperbarui: 5 Juli 2016   07:37 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Besok lebaran, Opor ayam hari ini lagi dimasak, ketupat lagi dikukus, pokoknya hari ini pasti lagi sibuk-sibuknya nyiapin Lebaran besok (kalau jadi kata Menteri Agama). 

Saat silaturahmi Lebaran pastinya saat paling menyenangkan karena ketemu dengan keluarga besar, makan opor ayam bareng dan ngobrol ngalor ngidul bareng. Tapi bisa jadi buat sebagian orang silturahmi ini bisa jadi moment yang berat. 

"Kapan kawin ? Kamu kan udah kerja udah mapan, ditunggu undangannya ya." 

"Udah lama nggak ketemu, wah kamu nambah gemuk ya !" 

"Kerja dimana sekarang ?" 

Buat saya sih itu basa-basi yang "mainstream" sekali saat lebaran. Biasanya sih itu pertanyaan standard ortu-ortu kelahiran 1960-an ke anak-anak generasi 2000an, yang masih asyik-asyiknya pacaran, baru cari kerja atau baru kerja, sering wisata kuliner (jadi ya sedikit berbobot lah badannya).

Kalau mau ditelusuri lebih dalam sebenarnya mereka nggak butuh-butuh amat sih sama jawaban atas pertanyaan di atas. Cuma sekedar cari bahan obrolan aja saat silaturahmi keluarga besar. 

"KAPAN KAWIN ? "

Buat sebagian orang pertanyaan-pertanyaan kayak gitu bisa aja sangat menyiksa. Terutama buat jomblo-jomblo yang emang susah cari pasangan hidup, kalau ditanya "Kapan kawin?" itu sama aja kayak nge-jahit luka di kulit tapi nggak pake dibius . Suakiiiit rek !  Beberapa teman saya justru lebih memilih menghindar dari silturahmi keluarga besar demi menghindari pertanyaan kayak gitu. Mungkin buat yang sudah berkeluarga apalagi sudah beranak pinak, niat mereka baik, supaya anak-anak mudo itu cepat nikah dan menjauhi zinah, tapi ya nggak gitu juga. Sensitif banget dan rasanya kurang pas ditanyain saat silturahmi keluarga. 

Sudut pandang ortu 1960-an (yang nanya): 

"Kapan kawin ?" = Ayo dong cepetan berumah tangga, bisa bisa membentuk keluarga sakinah mawadah kayak om gini lho. 

 Sudut pandang generasi 2000an (yang ditanya) : 

Doraemooooon, keluarkan pintu kemana saja. Aku ingin menghindar dari siltaurahmi ini. Ini urusan gue gitu lho, kapan mau kawin. Daripada salah kawin atau dijodohin kayak rata-rata generasi 1960-an.  

"KAMU NAMBAH GEMUK YA ? "

Nanya "Kamu nambah gemuk ya?" itu juga sama aja makein kostum badut Ancol ke badan kita. Please.... jangan basa-basi kayak gini ke remaja cewek wahai para ortu kelahiran 60-an. Bulan puasa itu saatnya para remaja cewek (atau juga cowok) kesempatan buat mati-matian nurunin berat badan, kalau bulan biasa susah buanget karena godaan nongkrong di mall yang susah ditolak.. 

Sudut pandang yang nanya : 

"Kamu nambah gemuk ya ?" = Kamu udah kerja, tambah makmur dan banyak rejekinya jadi wajar dong nambah gemuk. 

Sudut pandang yang ditanya : 

Alamaaaak..... sia-sia gue diet sebulan pas bulan puasa. Ketemu sama keluarga besar, lima orang aja bilang gue gemuk... Ya Allah gue harus diet gimana lagi ? Besoknya setelah silturahmi mereka akhirnya diet lebih ketat ala super model di Eropa yang bodinya cungkring, yang tiap hari cuma makan daun selada ama air putih.  Sehat kagak tipus iya. 

"KAMU KERJA DIMANA ?" 

Nanya "kerja dimana ?" juga sami mawon nggak asyiknya. Inget di era gadget ini beda banget sudut pandang ortu 1960-an dengan generasi Y. Buat generasi 1960-an kerja di bank, kerja di pertamina itu keren. Buat anak generasi Y, kerja sendiri kayak anaknya Jokowi jadi tukang Martabak itu lebih keren. Yang penting menghasilkan duit dan halal. 

Sudut pandang yang nanya : 

"Kamu kerja dimana ?" = Kalau kamu kerja di perusahaan besar kayak Astra, BUMN, Bank atau perusahaan minyak berarti kamu keren kayak om. Kalau kamu belum kerja sini om bantu referensikan ke temen om yang DIrektur. 

Sudut pandang yang ditanya : 

Lha busyet, gimana cara njelasin ke om ini kalau gue kerja jadi "Pembuat Meme dan video pendek lucu di Instagram" dan "food blogger" emang sih keliatannya sepele, tapi gue bisa beli motor matik dan tour ke Singapur cuma gara-gara jadi food blogger yang kerjanya emang cuma nyobain makanan dan ngomentarin restoran. Emang sih gue nggak kerja di perusahaan raksasa kayak om (walaupun gue yakin kayaknya pergi pagi pulang malem pendapatan pas-pasan). 

Generation gap di era gadget ini mulai terasa sangat berasa, perbedaan sudut pandang soal "kerja dimana?" sulit ditemukan. Buat para ortu kerja di perusahaan raksasa itu keren. Gaji kecil atau pas-pasan nggak masalah, yang penting nama perusahaannya dikenal seantero dunia akhirat. Buat anak muda sekarang lebih keren kerja sendiri secara mandiri, walaupun itu sarjana jadi supir Grab Taxi. Nggak majalah. Role model anak-anak muda sekarang adalah Gibran, anak Jokowi yang memilih jadi Tukang Martabak dan buka catering dibanding jadi pejabat partai atau punya perusahaan, serta role model lain adalah Raditya Dika, anak muda yang full talent dan bisa hidup dari dunia stand up comedy. 

Mumpung masih besok Lebarannya, kalau jadi kata menteri agama, yuk kita tahan nafsu (terutama generasi 1960-an) buat nanya hal-hal yang mainstream kayak  "Kapan kawin?", "kamu nambah gemuk ya?" dan "kamu kerja dimana ?"

Terus ngobrol apa dong ? 

Iiiiiiiiiihhh jadul banget sih.... Ya obrolin soal Piala Eropa, perkembangan gadget terbaru, macet di Cipali atau obrolin gimana caranya patungan biar emak sama babe bisa pergi umroh tahun ini atau gimana caranya patungan buat renovasi rumah kakek nenek yang udah mulai kusam. 

Lebih bermanfaat dan ada "Output" nya 

Ayo dong jadi orang jangan terlalu "mainstream" 

Nggak asyik.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun