Mohon tunggu...
Alvriza Mohammed Fadly
Alvriza Mohammed Fadly Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Film dan Televisi UPI 2020

A Student of Film and Television Study Program In Indonesia University of Education. Likes to write entertainment news and practicing journalistic production and distribution.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Keseimbangan antara Etika dan Karma (Review Film Rwa Bhineda)

27 Agustus 2023   22:50 Diperbarui: 27 Agustus 2023   22:53 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Tokoh Nenek dan Sosok Dewi (Sumber: Rwa Bhineda/Made Virgie)

Sinema Indonesia tentu banyak sekali dipenuhi oleh film-film lokal yang bernuansa keluarga, tidak sedikit dari mereka bertema keluarga  yang mana selalu menarik masyarakat sekitar untuk menyaksikan dari karya seni rekam tersebut. 

Beberapa contoh karya seperti Keluarga Cemara, Yuni, dan Jomblo Fisabilillah menampilkan cerita sebuah keluarga kecil yang menghidupi pengalaman hidup yang baru saat dihadapi oleh kondisi yang memukul mereka. 

Tidak lupa isu patriarki yang seringkali muncul dalam film bertema feminisme selalu mengwarnai narasi yang terkandung didalamnya, alih-alih menampilkan tokoh laki-laki yang notabene sebagai protagonis utama di sebuah film justru menampilkan tokoh wanita sebagai pembeda dari sebelumnya sembari mengedepankan gender equality. 

Mungkin akhir tapi tidak yang terakhir penonton disuguhkan dengan film yang bercerita kehidupan remaja yang dilanda pertanyaan nikah dari orang - orang sekitarnya.

Semua karya film lokal yang memiliki tema serupa sudah kerap kali diproduksi dan didistribusikan dalam bioskop tanah air, tetapi permasalahannya adalah jarang dari mereka menampilkan sebuah budaya Indonesia yang diproduksi menjadi film fiksi bahkan jika film tersebut dibuat, sebagian besar menonjolkan pada budaya Jawa yang erat. 

Oleh karena itu, diperlukan sebuah pembaruan yang dapat membedakan dari karya-karya sebelumnya. Jika berandai-andai apakah ada film yang memperlihatkan budaya di suatu pulau melalui cerita fiksi? Jawabannya adalah film Rwa Bhineda

Gambar 2. Tokoh Ibu Luh Sri beribadah dalam Pura (sumber: Rwa Bhineda/ Made Virgie)
Gambar 2. Tokoh Ibu Luh Sri beribadah dalam Pura (sumber: Rwa Bhineda/ Made Virgie)

Film Rwa Bhineda merupakan sebuah produksi karya seni rekam mahasiswa Film dan Televisi Universitas Pendidikan Indonesia yang disutradarai oleh Made Virgie Avianthy dan kawan-kawan angkatan 2021. 

Film tersebut menceritakan Ibu Luh Sri yang menjaga kelestarian sumber penghasilannya melalui bertani dari ulah nakal cucunya bernama Agung, penghasilan beras dan pertaniannya kerap kali diganggu oleh Agung sehingga Luh Sri berdo'a agar anak tersebut mendapatkan karmanya. 

Maka dari itu, Luh Sri melakukan ritual menari di sawahnya dengan alunan lagu tradisional khas Bali. Sebagai catatan, film ini merupakan Ujian Akhir Semester dari mata kuliah Studio Produksi Film Fiksi yang diampu oleh bapak Dipl-kunst. Erik Muhammad Pauhrizi, S.Ds., M.Sch. untuk angkatan 2021 mahasiswa FTV UPI yang memilih konsentrasi produksi film. 

Apabila membicarakan film budaya Bali, jarang sekali menemukan sebuah karya audio visual yang menampilkan nuansa "Paradise on The East" dengan cerita fiksi yang terkandung didalamnya. 

Karya terakhir merupakan Bali: Beats of The Paradise merupakan film dokumenter karya Livi Zheng yang menceritakan seniman Amerika Serikat di Bali, tetapi permasalahannya adalah tidak menampilkan secara detail mengenai bagaimana budaya Bali yang sesungguhnya ditangkap dalam frame camera sehingga tidak begitu memberikan pengetahuan pada penonton.

Rwa Bhineda cukup berhasil melakukan apa yang film tersebut tidak bisa lakukan, menampilkan bagaimana budaya Bali yang melekat di suatu masyarakat melalui cerita fiksi sederhana. 

Selain itu, film ini pun terlihat tidak memiliki dialog yang banyak dan lebih menampilkan montase setting bernuansa Bali diiringi lagu tradisional dari pulau tersebut, seolah-olah penonton merasakan sedang tinggal di Pulau Bali sendiri. Tetapi, kekurangan dari film ini adalah tidak memberikan eksposisi yang jelas melalui dialog dari tokoh. 

Gambar 3. Luh Sri memanen padi di sawah (sumber: Rwa Bhineda/Made Virgie)
Gambar 3. Luh Sri memanen padi di sawah (sumber: Rwa Bhineda/Made Virgie)

Jika melihat dari judulnya "Rwa Bhineda", istilah tersebut datang dari sebuah filosofi kehidupan yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat Bali. Konsep tersebut befokus pada keseimbangan, dimana dua hal berbeda dalam kehidupan akan selalu menjadi satu dan tak terpisahkan satu sama lain. 

Manusia selayaknya dapat hidup di dalam perbedaan, keberagaman masalah, serta keberagaman persaan. Intinya adalah dalam hidup tidak ada yang menang atau kalah, tetapi siapa yang sadar dan tidak sadar. 

Merujuk dari penjelasan istilah tersebut, secara semiotika cerita film ini berhasil merealisasikan konsep filosofi tersebut melalui narasi seni yang dibangun. Diperlihatkan bahwa Agung adalah anak yang usil selalu mengganggu kelestarian pertanian Luh Sri sehingga karma datang menyerangnya. 

Cerita ini sebenarnya bisa dibuat lebih baik apabila ada  penjelasan yang dikomunikasikan oleh tokoh yang hadir baik dari sebuah dialog ataupun metode lainnya. Maka dari itu, penonton akan mengerti apa sebenarnya istilah Rwa Bhineda melalui film ini tanpa mem-browsing dahulu. 

Membicarakan kembali dialog antar tokoh, film ini lebih berfokus pada aksi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang hadir dengan minim percapakan antar satu dengan yang lainnya. Hal ini merupakan nilai positif sehingga penonton tidak dibawa oleh basa-basi tokoh dan langsung diarahkan pada konflik yang terjadi dalam ceritanya. 

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bali tanpa ada Bahasa Indonesia satupun yang diucapkan oleh tokoh film, secara sastra tata cara komunikasi ini bernilai sangat positif tetapi dengan catatan harus ada subtitle Bahasa Indonesia agar lebih dipahami sembari dipelajari oleh penonton. 

Para aktor yang memainkan karakter di dalam film melakukan kerja yang bagus dengan memberikan akting semi alami dengan dialek bahasa Bali yang cukup akurat. 

Gambar 4. Agung dirasuki oleh ruh Dewi sembahan Luh Sri (sumber: Rwa Bhineda/Made Virgie)
Gambar 4. Agung dirasuki oleh ruh Dewi sembahan Luh Sri (sumber: Rwa Bhineda/Made Virgie)

Musik scoring dalam film ini adalah highlight yang besar karena tidak hanya sebagai iringan dari sebuah cerita, lagu tersebut seakan-akan menghidupkan nuansa Bali dengan instrumen Gamelan yang dibunyikan secara berirama. 

Terdapat suatu adegan saat puncak konflik terjadi antara tokoh Luh Sri dan Agung, musik disini berperan sangat besar dalam menaikkan tensi cerita hingga mencapai resolusi. 

Mungkin bisa diperbaiki sedikit dengan mengcocokkan frame shot antara tokoh Agung dengan Luh Sri menari di tempat berbeda, jadi tidak hanya menangkap nuansa horrornya saja tetapi menampilkan nilai budaya Bali yang brilian. Secara keseluruhan sinematografi yang diterapkan dalam film ini sudah baik hanya saja memerlukan teknik editing yang cocok agar lebih mengena.

Secara garis besar, Rwa Bhineda dapat disebut sebagai tembusan baru karya mahasiswa Indonesia yang berpotensi untuk memberikan pengetahuan sedikit mengenai adat dan budaya Bali melalui narasi fiktif yang dibangun. Meskipun dibatasi oleh geografi sebagai setting film tersebut, cerita yang dibangun berhasil dikomunikasikan secara baik yang didukung oleh musik, tata artistik, dan tokoh yang hadir di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun