Dibalik Gemerlap Kota Jakarta
Alfinda Meisya Larasati
Ditengah gemerlap kota Jakarta, dengan berbagai gaya hidup yang mewah dan menawan, ditengah modernisasi dengan sejuta kemajuan yang mengagumkan seperti jalan-jalan berpohon dikawasan mewah seperti Menteng, pusat perbelanjaan mewah seperti Pacific Place ataupun Aeon Mall Jakarta Garden City di kawasan Jakrta timur. Kemegahan potret kota tersebut rupanya menyembunyikan sisi gelap kota Jakarta yang mana berbanding terbalik dengan kota Jakarta yang banyak orang bayangkan/.
Seorang pengepul barang bekas yang akrab di panggil Nanang harus ditimpa oleh krisis ekonomi yang mengakibatkan anak pertamanya berhenti untuk sekolah. Dia merasa hidup di Jakarta cukup sulit, jangankan untuk sekolah, makan pun susah.
“duh, hidup susah dijakarta sukur-sukur hari ini bisa makan jadi buat mikirin anak sekolah aja rasanya masih berat selain bergantung sama KJP,” tuturnya, Sabtu (13/7)
Dalam hal ini, berbagai potret ketimpangan di Jakarta menjadi hal yang sangat krusial yang jarang sekali orang ketahui. Nyatanya ketimpangan pendidikan sampai dengan ketimpangan sosial masih marak terjadi di Jakarta, daerah yang dianggap sebagai kota yang gemerlap. Hal itu didasari oleh pernyataan Pak Nanang yang menyampaikan bahwa hampir 60% anak-anak di kampung tengah putus sekolah dikarenakan masalah ekonomi, zonasi, serta ketimpangan sosial yang terjadi di sekolahnya yang mengakibatkan anak-anak memilih berhenti sekolah dan memilih kerja membantu orang tua mereka.
“disini mah anak-anak minimal sekolah itu SD atau sampai SMP aja, untuk SMK/SMA susah, soalnya yang dekat itu swasta dan biayanya ga sanggup sedangkan kalau mau ke negeri dan pake sistem zonasi warga sini selalu ga dapet,”
Mulanya, pak Nanang bekerja sebagai tukang sayur di pasar induk. Namun, pada saat itu angka COVID melonjak tinggi dan terpaksa pak Nanang menutup rukonya sebab harga sewa ruko yang terlalu tinggi, pungli yang masih banyak serta sepinya pengunjung disaat COVID membuat pak Nanang akhirnya gulung tikar. Hal ini membuat pak Nanang memutuskan untuk meminjam uang pada renternir dengan jumlah yang lumayan besar bertujuan untu membayar biaya sekolah anak pertamanya juga mencukupi biaya hidupnya. Namun, hal itu tidak bisa terealisasi sebab uang tersebut hanya cukup untuk makan keluarganya sehari-hari, sampai akhirnya sang anak terlambat beberapa bulan untuk biaya sekolahnya.
“anak saya yang pertama berhenti sekolah pas kelas 2 SMK mba, saya nunggak banyak pas covid waktu itu eh gurunya marahin anak saya depan teman-temannya, jadi anak saya malu dan memilih untuk tidak lanjut sekolah,”
Lepas dari sekolah anak pak Nanang memilih berjualan kebab dan menjadi kurir pake untuk membantu perekonomian keluarga mereka
“anak saya pas keluar sekolah ya langung jualan kebab sama nganter paket, buat bantu-bantu dirumah dan biaya ade nya sekolah nanti,”
Dalam UU no.11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial yang mana bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat indonesa dengan memberikan perlindungan sosial, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi kemiskinan serta kesenjangan sosial rasanya menjadi kontradiktif dengan realita yang dihadapi oleh pak Nanang, dibentrokan dengan realita bahwa di Indonesia, khususnya di Jakarta Timur ini masih jauh dari kata sejahtera bahkan dari berbagai sektor. Lalu apakah masih tergambar dibenak kita bahwa Jakarta tetap menjadi kota yang gemerlap?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H