Beberapa waktu yang lalu kita pergi bersama. Aku dan kamu, mengendarai sepeda roda dua, ke sebuah laguna. Laguna itu sangat indah pada setahun yang lalu.Â
Airnya jernih membiru, nampak kilau langit bercermin di sana. Nampak pula ikan-ikan berenang dengan ceria. Satu dua tiga perahu pun melaju, membawa penumpang yang ingin berkeliling di sepanjang laguna. Pelan dan hati-hati.
Diantara mereka ada aku dan kamu. Sambil bercengkerama, kita asyik berfoto ria, mengabadikan momen yang tak biasa. Â Sepanjang laguna air yang bersih dan jernih pun menyanyikan lagu bahagia. Seakan ikut merasa apa yang kita berdua rasa. Bahagia dan cinta.
Itu cerita dulu, kala itu. Entah mengapa hatiku terpaku sesaat memandang aliran dan desah laguna kini. Hari masih pagi, dan matahari cerah menyinari langit dan bumi. Seharusnya laguna pun kini bernyanyi, tetapi ia nampak murung dan sunyi.Â
Hawa laguna tak seperti dulu. Banyak berkeliaran sampah plastik, botol plastik, beberapa jerami dan dedaunan bawang merah yang menutupi keindahannya. Aku dan kamu kesal. Harapan mengenang kembali keindahanmu telah hilang.Â
Perahu-perahu tak nampak lagi. Sabotase benda-benda liar merusak tubuhmu lagunaku, kenanganku. Ada hal lain lagi membuat hatiku dan hatimu tambah miris. Di salah satu sudut laguna, nampak perahu-perahu penambang pasir. Mereka meraup pasir dari dasar lagunaku. Hingga lagunaku kini berduka, merana.Â
Tak ada nyanyian dan foto ria. Harusnya kini ada taman di sekitar laguna. Ada polisi penjaga, atau satpam. Ada penjaga tiket untuk menerima sedekah dana pemeliharaan, untuk mengelola aset laguna. Agar para penambang pasir itu jera dan sadar, ini laguna milik bersama yang harus dijaga setiap saat.Â
Aku mengajakmu pulang, karena tak ada lagi kenangan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H