Sepucuk Surat, Media Menuangkan Rasa Menjadi Karya

Karya adalah hasil dari pekerjaan. Karya banyak ragamnya. Kita dapat memilih sesuai dengan minat dan bakat agar diperoleh hasil yang terbaik. Setiap orang tentu memiliki minat dan bakat, hanya terkadang kurang diolah menjadi sebuah karya.

Kondisi seseorang sangat mempengaruhi hasil sebuah karya. Seseorang yang sedang merasa bahagia semisal hati berbunga-bunga karena bertemu dengan jodoh yang selama ini dirindukannya, secara lihai menyatukan kata-kata puitis hingga menjadi sebuah karya fiksi puisi.

Seseorang yang sedang dirundung duka pun dapat melampiaskan kekecewaan, kemarahan, dan kedukaannya dalam untaian kata yang mewakili suasana batinnya. Jadilah karya puisi atau mungkin sebuah cerita fiksi.

Pengalaman saya pribadi adalah ketika dahulu awal bertemu dengan calon suami, saya menuliskan rangkaian kata hingga menjadi puisi versi saya. 

Saat itu mas calon sedang berulang tahun, dan puisi itu saya persembahkan untuknya. Dalam waktu setengah malam halaman satu buku kecil hampir terisi penuh. 

Pena di jemari saya menari begitu saja mengikuti alunan rasa dalam kalbu. Hehe...namanya juga lagi jatuh cinta ya. Tak perlu berpikir keras untuk mengalirkan tsunami rasa cinta.

Setelah menikah dengan mas calon, riak-riak kecil pun terkadang menghampiri. Namanya juga masih taraf belajar menjadi istri dan dia belajar menjadi suami. Proses penyesuaian sikap, kebiasaan, perilaku, dan banyak hal tentu harus dilalui agar bisa sampai tujuan seiring sejalan dan saling pengertian.

Istimewanya, proses ini sering membuat hati remuk redam, melumer bagai coklat yang kepanasan. Situasi seperti ini memberi sinyal-sinyal pada air yang terbendung di sungai mata saya. Bahasa Jawanya saya itu moto yuyu alias mudah menangis. Kalau sudah begini lisan menjadi kelu untuk mengucap kata-kata.

Akhirnya pena pun beraksi lagi menari di atas kertas bergaris menumpahkan kekesalan dan kekecewaan, dalam bentuk surat. Saat mas suami masih tertidur, surat itu saya taruh di atas tubuhnya, dan saat terbangun dibacanya. Dalam surat itu pun tak lupa terselip permintaan maaf walau diri merasa tak berbuat salah, dengan harapan mas suami mengerti dan memahami.

Benar saja, ternyata hasil jerih payah jemari saya menggerakkan pena di atas kertas putih bergaris itu membuahkan hasil. Percampuran rasa marah, sedih, kecewa, tangisan itu ternyata menjadi bumbu-bumbu penyedap yang membahagiakan. Sepucuk surat pun menjadi media menuangkan  rasa menjadi karya.

Saya pun teringat dengan  perjuangan Raden Ajeng Kartini, beliau pun menuangkan rasa melalui surat-surat yang akhirnya menjadi sebuah karya terkenal yang terkumpul dalam buku "Habis Gelap Terbitlah Terang."

Cerita di atas adalah contoh kecil yang pernah saya alami dalam membuat sebuah karya dalam bentuk tulisan. Meskipun yang membaca hanya suami (duh jadi malu nih...).

Karya tak melulu dalam bentuk tulisan, jika menilik pengertian di atas bahwa ia adalah hasil pekerjaan. Profesi yang kita jalani sehari-hari adalah untuk mewujudkan karya juga. Banyak bidang profesi yang dijalani dengan profesional, gembira  insyaAllah menghasilkan karya terbaik pula.

Profesi sebagai Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM) yang saya dan teman-teman seprofesi tekuni selama ini pun telah menghasilkan banyak karya. Bagaimana kami menjalani profesi ini dengan hati ikhlas, bahagia, dan bangga demi masyarakat Indonesia.

Salah satu contoh deskripsinya adalah saat sampling darah pasien, kami harus memenuhi hati dengan rasa bahagia sehingga bisa melayani dengan baik. Sedikit mengedukasi bagaimana pasien agar tidak merasa takut dan cemas saat diambil darahnya. 

Ketakutan dan kecemasan pasien akan mempengaruhi kelancaran ATLM dalam menyelesaikan karyanya. Apalagi jika pasien adalah anak-anak yang sudah bisa teriak, lari, menampar petugas, menjejakkan kakinya ke petugas, bahkan meludahi petugas. 

Butuh waktu lebih lama dan mulut berbusa-busa dalam mengedukasi pasien dan juga orang tuanya. Dan, ini membutuhkan penyatuan rasa sabar, tenang, dan terpenting menahan emosi, sehingga kata-kata yang keluar dalam mengedukasi adalah kata-kata yang enak didengar pasien. Hasilnya pasien lebih terkondisi.

Rasa. Rasa peduli, agar pasien segera ditangani akan mendukung fase kesembuhan pasien. Dengan demikian, kita akan melayani dengan sebaik-baiknya.

Profesi lain pun tentu demikian pula. Demi hasil karya terbaik akan menuangkan berbagai rasa dalam karyanya. Pelukis misalnya, mengolah ramuan rasa dan tertuang dalam hasil lukisannya. Ia membutuhkan waktu untuk berlatih agar menjadi lukisan apik.

Mas Ozy, sebagai seorang pengajar selalu menyematkan rasa dalam setiap tutur katanya dengan memilih kata-kata yang pas, bijak, agar murid-muridnya mendengar dengan seksama, walhasil ilmu yang disampaikan diterima dan dipahami oleh anak didiknya. Apalagi dalam menulis, ramuan rasa nya kerasa banget (maaf ya mas Ozy, namamu tercatut nih...).

Demikian pula dengan sahabat kompasianer yang lain, apalagi para senior tentu mempunyai tips yang jitu dalam menuangkan rasa sebagai karya.

Berikut tips menuangkan rasa jadi karya ala saya :

• Berlatih. Latihan yang kontinyu merupakan proses menjadikan karya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Berlatih meramu berbagai rasa menjadi bumbu penyedap dalam karya. Hampir semua profesi membutuhkan ini.
• Fokus. Melakukan kegiatan berkarya dengan tenang, dan memusatkan perhatian di pekerjaan tersebut.
• Kondisi sekitar yang mendukung. Seseorang mungkin butuh suasana senyap, yang lain mungkin justru butuh suasana hiruk pikuk saat berkarya tergantung pekerjaan masing-masing.
• Menyesuaikan dengan minat dan bakat atau kompetensi. Beberapa pekerjaan tertentu semestinya dikerjakan oleh yang berkompeten, sehingga didapatkan karya yang berkualitas.
• Sarana dan prasarana memadai. Untuk menghasilkan karya terbaik membutuhkan sarana dan prasarana cukup memadai demi kelancaran proses berkarya dengan hasil terbaik. Seorang penulis pun membutuhkan sarana mesin ketik yang bisa diajak bekerjasama dengan baik.

Demikian, sedikit gambaran menuangkan rasa dalam karya menurut saya.

Semoga ada manfaatnya.

Bantul, 27 Mei 2021

Salam,

Alviyatun