Mohon tunggu...
Alvitus Minggu
Alvitus Minggu Mohon Tunggu... Dosen - laki-laki

jangan menyerah sebelum bertarung

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Petahana dan Bosisme Lokal dalam Pilkada

14 Juni 2020   20:46 Diperbarui: 14 Juni 2020   20:44 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

By:  Alvitus Minggu

Petahana merupakan istilah baru yang muncul pasca reformasi tahun 1998. Istilah ini muncul menjelang pemilihan presiden tahun 2009 di mana Susilo Bambang Yudhoyono berusaha mempertahankan jabatannya sebagai presiden untuk yang kedua kalinya. 

Istilah petahana mulai dikenal publik tidak saja hanya dipengaruhi faktor pemilihan presiden tetapi istilah ini semakin populer pada saat memulai pilkada langsung pada tahun 2005. Seiringan dengan itu, usia pilkada telah berjalan kurang lebih 15 tahun konsekuensi logisnya telah melahirkan ribuan kepala daerah. 

Berbagai asumsi, pilkada yang telah berlangsung kurang lebih 15 tahun itu justru mayoritas selalu memenangkan petahana/incumbent. Hal ini menunjukan data pilkada serentak yang jumlahnya 538 calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang maju dalam pilkada serentak pada tahun 2015 lalu, 278 orang atau lebih dari separuh di antara mereka merupakan mantan gubernur, bupati dan wali kota ataupun wakilnya (News Indonesia, 10 Desember 2015) merupakan riil politik yang terjadi di daerah. Pasalnya, petahana memiliki kemampuan yang dicirikan pada kekuatan modal.

Dalam pandangan filsuf asal Prancis "Pierre Bourdieu". Teori modal mengelompokkan ke dalam empat jenis yaitu: modal ekonomi, modal budaya, modal sosial dan modal simbolik. 

Bourdieu mendefinisikan modal sebagai keseluruhan kekayaan aktual dan potensial yang terikat pada kepemilikan suatu jaringan dari relasi-relasi pengenalan  yang terstruktur serta sumber daya efektif yang memampukan seseorang menyesuaikan diri dengan keuntungan yang ada di dalam arena dan bisa berjuang di dalamnya. (Haryanto, 2014: 2). 

Teori modal menginterpretasikan sebagai kekuatan politik untuk menunjang kemenangan pilkada bagi petahana yaitu menguasai struktur politik daerah mulai dari birokrasi, pengusaha, partai politik, LSM, PERS, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemuka agama, kelompok intelektual dan pegiat-pegiat sosial lain. 

Sedangkan Machiavelli menganalogikan modal sebagai sebuah senjata di mana para nabi yang bersenjata memenangkan pertempuran dan yang tidak bersenjata mengalami kekalahan dalam pertempuran (Schroder, 2013; 6). 

Kedua pemikir itu baik Bourdieu maupun Machiaveli memiliki relevansi yang kuat tentang teori modal. Teori ini dapat kita memaknai bahwa modal sebagai ranah yang menjadi obyek ekonomi bagi para kontestasi politik sebagai senjata untuk memenangkan pertarungan pilkada.

Di era pilkada langsung, petahana selalu menjadi calon favorit kelompok-kelompok politik di daerah karena memiliki sumber modal yang kuat sehingga sangat memungkinkan mudah menguasai medan pertempuran.

Asumsinya  petahana cenderung semakin berpeluang besar untuk memenangkan pertarungan pilkada. Secara ekonomi politik, tumpuan utama kemenangan petahana pada umumnya bertumpu pada dukungan kekuatan oligark dan oligarki di tingkat lokal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun