By: Alvitus Minggu
Pilkada merupakan institusi sekaligus praktik riil demokrasi lokal. Konsep ini lahir sebagai bentuk reaksi atas ketidakpuasan publik terhadap sistem pemilihan kepala daerah, yang sebelumnya dipilih DPRD.Â
Sistem tersebut memiliki dasar hukum yang kuat sebagaimana dalam penjelasan pasal 18 ayat 4 UUD 1945 disebutkan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.Â
Sedangkan pasal 1 ayat 2 menyebutkan kedaulatan ada di tangan rakyat. Pasal tersebut rupanya membawa angin segar bagi perpolitikan di Indonesia bahwasanya masyarakat memberi kebebasan untuk berpartisipasi langsung memilih pemimpin politik tingkat lokal.Â
Sistem ini sebagai bentuk keseriusan negara yang mengandung nilai kebebasan, di mana semua anggota konunitas politik mempunyai kedudukan yang sama dalam memberikan hak politik untuk memilih para calon pemimpin politik daerah sebab kebebasan merupakan hak dasar yang diberikan Tuhan kepada manusia yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, negara harus melihat secara jujur hak-hak dasar yang dimiliki manusia sebagai mahluk Tuhan.
Secara konsep, pilkada merupakan bagian dari perluasan pemahaman demokrasi langsung disebabkan muncul adanya peningkatan budaya politik yang ditopang semangat reformasi tahun 98, yang didesain untuk perimbangan kekuasaan politik antara pusat dan daerah.Â
Dengan demikian pemerintah daerah mempunyai ruang kebebasan untuk hidup mandiri secara politik. Kemandirian tersebut, salah satunya adalah daerah mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Dengan tujuan untuk mengatur rumah tangganya sendiri sehingga konsep pembangunan daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa harus selalu bergantung kepada pemerintah pusat.Â
Di balik itu, tentu dapat diharapkan agenda pilkada bisa membawa dampak positif secara signifikan bagi perubahan dan kemajuan pembangunan daerah baik fisik maupun non fisik. Oleh karena itu untuk mengatur daerah  diperlukan calon kepala daerah yang memiliki kompetensi, sebagaimana dalam penjelasan teori "Rousseau" mengakui bahwa penciptaan pemerintahan menuntut keterampilan dan kemampuan besar serta telah memenuhi syarat untuk menjalankan tugas tersebut.Â
Untuk mengatasi hal itu ia mencoba mendorong agar pemegang hak ini haruslah orang yang sangat jenius, seorang ahli yang bisa menyusun konstitusi yang cocok dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat (Schmandt, 2002:404). Teori tersebut sangat sulit diikuti partai politik karena parpol tidak memiliki budaya untuk mendukung para calon kepala daerah yang memiliki kompetensi secara akademik melainkan  parpol lebih cenderung memprioritaskan calon kepala daerah yang berbasis kekuatan material.
Kencederungan seperti itu, justru banyak sekarang calon kepala daerah muncul dari kalangan politisi dadakan yang hanya bermodal kartu anggota partai dan bermodal material.Â
Mereka mendapatkan kartu anggota pada saat menjelang maju sebagai calon kepala daerah dan bukan politisi yang telah lama bergabung dalam struktur di partai politik atau kader parpol yang telah memenuhi syarat berdasarkan ketentuan hukum partai.Â
Sebuah realitas politik yang kerap terjadi di partai politik akibat karena kelonggaran sistem sehingga tidak heran banyak politisi dadakan beramai-ramai memanfaatkan situasi itu mendaftarkan diri untuk maju sebagai calon kepala daerah yang pada umumnya lebih memilih potong kompas karena partai gampang dibeli dengan uang merupakan sebuah kegagalan partai politik yang sangat mempengaruhi perkembangan demokrasi lokal.
Pilkada langsung selalu menjadi topik menarik dan menjadi bahan perbincangan pada berbagai kalangan masyarakat. Pasalnya pilkada langsung yang berlangsung dari tahun 2005 hingga sekarang selalu diwarnai dengan anekaragam persoalan.Â
Sebagaimana data yang pernah saya lansirkan dalam tulisan saya sebelumnya di Kompasiana.com, yaitu mulai dari kasus money politics, penggelembungan suara hingga tidak bisa menerima kekalahan jagoan mereka masing-masing, KPUD maupun Panwaslu dianggap tidak independen dan kasus korupsi yang melibatkan pihak penyelenggara pilkada.Â
Berbagai persoalan pilkada muncul lebih didasarkan pada faktor ketidak pahaman publik terhadap mekanisme hukum pilkada, rendahnya tingkat pemahaman publik tentang politik dan rendahnya kesadaran publik tentang hidup berdemokrasi sebagai akibat sumber daya manusia yang tidak memadai dan sistem pendidikan tidak merata.Â
Perlu diingat, bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia masih terlekat dengan budaya parokial: budaya masyarakat yang masih rendah pemahaman tentang politik sehingga mudah dipicu berbagai hal yang dianggap tidak rasional, yang justru bisa mengancam perpecahan integrasi bangsa.
Pilkada langsung merupakan ranah politik yang telah memberi kontribusi melahirkan berbagai tokoh penting di daerah yang beragam status sosialnya. Mulai dari politisi, pengusaha, tokoh agama, dan akademisi namun pada sisi yang lain justru pilkada menjadi ruang tertutup bagi struktur kelas yang lain khususnya kelas yang tidak mampu secara finansial untuk ikut berlaga dalam pertarungan pilkada.Â
Pada umumnya Kelas ini memiliki skil politik  dan mempunyai kapasitas untuk mengatur daerah tapi karena keterbatasan kemampuan material akhirnya visi dan misi politiknya tidak terakomodir oleh partai politik. Partai lebih memprioritaskan tokoh yang berbasis material meskipun mereka tidak mempunyai skil politik. Kondisi itu merupakan riil politik yang sering dihadapkan tokoh-tokoh politik yang gagal dicalonkan partai politik.
Pilkada tidak hanya sekedar sebagai alat untuk  memenuhi agenda politik nasional tetapi dapat diharapkan menjadi peran penting untuk penguatan demokrasi lokal.Â
Dengan beberapa indikator yaitu pertama, apakah struktur politik yang ada di daerah bersikap netral setiap kali pelaksanaan pilkada yang diagendakan sekali dalam lima tahun.Â
Kedua, apakah semua warga masyarakat khususnya yang telah memenuhi syarat berdasarkan ketentuan hukum pemilukada memberi kebebasan yang sama ataukah dilarang untuk memberikan hak suara kepada calon kepala daerah tertentu.Â
Ketiga, apakah surat kabar lokal dibredel atau dilarang untuk meliput berita tentang pemilihan kepala daerah. Keempat, apakah pihak penyelenggara (KPUD) dapat mempertanggungjawabkan terhadap hasil kegitan pilkada secara kredibel. Kelima, apakah proses pelaksanaan pilkada dapat dilangsungkan secara jujur dan adil.
Kita semua berharap agar konsep pilkada langsung tidak hanya sekedar sebagai agenda politik yang selalu mengatasnamakan kepentingan reformasi tetapi pilkada langsung sebagai tempat untuk menggantungkan harapan kita bersama, agar melahirkan pemimpin politik lokal yang memiliki nilai motivasi sosial, yang selalu berpihak pada kepentingan publik sehingga demokrasi lokal menjadi tumpuan harapan bagi perkembangan pembangunan ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya yang dibutuhkan oleh masyarakat tingkat lokal.
Penulis adalah Dosen Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia dan dosen ilmu politik Universiotas Bung Karno Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H