Sedangkan sipil diangap lemah mengendalikan semua unsur kehidupan masyarakat, tidak memiliki kapasitas untuk mengembangkan saling bersinergi positif antara sesama partai sehingga cenderung konflik, dan kurang terbinanya nilai solidaritas diantara sesama elit politik. Dengan demikian dilihat dari uraian tersebut sesungguhnya yang paling ideal dalam memimpin negara militer lebih siap ketimbang sipil.
Keputusan Jokowi menarik TNI dan POLRI masuk dalam jajaran kabinetnya justru akan memperkuat citra dirinya sebab persepsi publik Jokowi adalah pemimpin yang dianggap rendah hati, penuh kesabaran, dan tidak mudah terprovokasi dengan isu-isu yang menganggap  menghina terhadap dirinya menandakan Jokowi menjadi pemimpin yang berjiwa besar yang mau merangkul semua orang dengan tujuan menghindari terjadi adanya conflict interest antara sesama elit politik.Â
Keputusan tersebut dapat dipahami sebagi teori pilihan rasional atau  rational choice theory karena kehadiran TNI dan POLRI sebagai kata kunci untuk menjaga keberlangsungan sistem politik dalam suatu negara serta sebagai upaya untuk menghilangkan dikotomi antara militer dan sipil.
Enam Jenderal dalam kabinet Jokowi sebagai upaya strategi politik untuk melawan kelompok gerakan radikalisme serta ingin memastikan agar bangsa ini terbebas dari virus-virus ideologi kiri yang berpotensi besar mengancam integrasi bangsa. Pembauran tersebut dalam rangka memperkuat sistem keamanan nasional.Â
Militer dan sipil masuk dalam pemerintahan Jokowi merupakan simbol nilai mutualisme penggabungan antara unsur nasionalisme dan unsur profesionalisme dengan tujuan mampu mengimplementasikan visi, misi, dan program presiden dengan  membutuhkan sinergisitas demi mewujudkan cita-cita konstitusi kita yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Apa pun keputusan Jokowi terkait dengan penetapan calon menteri yang diumumkan pada tanggal 23 Oktober lalu merupakan keputusan yang merepresentasi kehendak rakyat dengan cara menggunakan hak prerogatif presiden. Namun hak prerogatif presiden itu dapat dipahami sebagai simbol teori demokrasi langsung.Â
Di mana rakyat ikut berpartisipasi melalui pemilu dalam rangka memilih pemimpin pemerintahan yang dalam istilah populernya memilih presiden dan wakil presiden.Â
Maka dalam konteks ini presiden tidak hanya sekedar sebagai pemimpin hasil seleksi pemilu akan tetapi merupakan basis pendelegasian wewenang politik rakyat yang telah diberikan melalui mekanisme pemilu sehingga apa pun keputusan Jokowi mengenai calon pembantunya suka atau tidak suka maka keputusan itu bersifat final dan mengikat bagi semua orang, meskipun ada yang beranggapan bahwa keputusan itu tidak memberi kepuasan bagi semua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H