Pada dasarnya, setiap manusia pasti memiliki sebuah kekuasaan dimana pun dan kapan pun, bahkan itu sudah ada dalam diri setiap manusia dan. Jika dilihat dalam pendekatan kekuasaan bahwasnnya kasus korupsi tersebut adalah dimana manusia itu mempunyai sebuah kekuasaan yang mana kehendak untuk berkuasa itu adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk  apapun yang ada, serta merupakan hasil dari proses realitas itu sendiri. Korupsi dapat didefinisikan sebagai penggunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.Â
Kekuasaan publik itu adalah kekuasaan yang diberikan oleh publik, seperti masyarakat atau organisasi di dalamnya. Menurut pandangan para ahli seperti Nietzsche seorang filosof jerman, bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk berkuasa, dan kehendak berkuasa adalah "klain kekuasaan yang paling tiranik dan tidak dapat dihancurkan". Seluruh realitas dan segala yang ada didalamnya adalah ledakan sekaligus bentuk lain dari kehendak untuk berkuasa.
Kekuasaan yang ada pada diri manusia akan terus menerus tidak akan pernah puas dengan kekuasaan yang dimiliki, dimana manusia bebas berpendapat atas segala yang ingin dicapainya, seperti misalnya manusia berada pada posisi paling tinggi diantara masyarakatnya atau bisa dikatakan orang kaya yang memiliki harta berlimpah. Secara otomatis jika manusia ingin melakukan apa yang diinginkan misalnya menjabat sebagai Kepala Desa di lingkungannya, berarti pada saat itu juga manusia sangat memiliki kekuasaan penuh atas itu. Dan ketika manusia sangat merasa punya kekuasaan atas segalanya yang mereka punya, manusia akan seenaknya melakukan atau berbuat sesuatu diluar kesadaran manusia, dan adanya penyalahgunaan kekuasaan seperti salah satunya yaitu tindakan atau perilaku korupsi. Manusia akan merasa memiliki semuanya tanpa memikirkan konsekuensi yang nantinya akan didapatkan karena hal itu. Dan dari adanya sebuah kekuasaan akan menjadi awal dari lahirnya tindakan korupsi.
Jika manusia sudah memiliki kekuasaan, mereka berhak untuk memberi perintah, dan mereka akan mencoba untuk mempengaruhi orang lain, agar yang diperintah nurut dan patuh. Jika dikaitkan dengan politik uang, dimana si pelaku akan memberi sebuah keputusan untuk mempengaruhi tindakan dari orang lain, seperti menjanjikan masyarakat bahwasannya akan ada imbalan dengan syarat masyarakat harus memilih si pelaku untuk menjadi Kepala Desa di daerah tersebut.
Selain itu juga ketika kepala desa atau pejabat publik yang mana ada permasalahan terkait dengan pekerjaannya, pegawainya atau rekan kerjanya, serta rendahnya pendapatan yang diperoleh, dan minimnya sumber daya. Dari hal tersebut, tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan atau akan menciptakan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang mereka pegang demi kepentingan pribadi. Dengan demikian, lepas dari sebaik apa diri kita, memiliki kehendak untuk berkuasa atas orang lain dan atas alam semesta (Wattimena, 2012:42). Yang menjadi persoalan adalah manakala kehendak berkuasa tersebut dipergunakan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan secara moral atau hukum, dalam hal ini yaitu korupsi. Kekuasaan yang disalahgunakan iniah yang bisa dikategorikan melakukan tindakan korupsi. Hal ini bisa terjadi manakala aktor memiliki kekuasaan dan lingkungan disekitarnya juga ikut mendukung bagi terjadinya suatu tindakan korupsi.
Kemudian jika dilihat dari pendekatan demokrasi, bahwa untuk memperoleh sesuatu pasti membutuhkan biaya, dan hal tersebut bisa dikatakan sebagai tindakan korupsi. Seperti pada kasus sebelumnya yaitu politik uang, dimana dalam salah satunya yaitu Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) harus membutuhkan yang namanya biaya yang sangat besar tentunya. Korupsi bukanlah suatu yang asing didalam sistem demokrasi, apalagi pada Negara Indonesia ini. Demokrasi merupakan sistem politik yang didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat. Prinsip kedaulatan rakyat tidak berarti bahwa rakyat langsung menentukan kehidupan politik kenegaraan. Korupsi menjadi problem bagi kedaulatan rakyat dan prinsip kesamaan politik dalam dua arti yaitu perilaku koruptif pada politisi atau wakil rakyat akan kehilangan legitimasi atau kepercayaan, yang dalam hal ini korupsi dapat menyebabkan pergeseran prioritas politik dan melalui dengan korupsi kekuasaan politik tidak lagi dilegitimasikan oleh partisipasi warga negara dalam proses politik, bila keputusan-keputusan politik tidak lagi didasarkan pada kriteria obyektif dan argumentasi nasional, melainkan ditentukan oleh pemilik modal.Â
Pada kasus politik uang, para pelaku atau si koruptor tersebut memanfaatkan segala sesuatunya didalam sistem demokrasi dengan membeli suara dari masyarakat sekitar, dan menjanjikan masyarakat bahwasannya akan ada imbalan dari perbuatan tersebut. Dan kejadian ini masih sangat masif di lingkungan tempat tinggal saya, apalagi di Negara Indonesia ini. Demokrasi menghendaki adanya transparansi dan kejujuran.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H