Mohon tunggu...
alvin yesaya
alvin yesaya Mohon Tunggu... Freelancer - Pengamat Kemaritiman, pendidikan, dan literatur. Coastal Engineer

Pengamat Kemaritiman, pendidikan, dan literatur. Coastal Engineer. Jalasveva Jayamahe

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Urgensi "Buoy" dan Ironi Vandalisme

23 Desember 2018   19:40 Diperbarui: 24 Desember 2018   05:06 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber :sains.kompas.com


Tsunami yang terjadi pada Sabtu malam, 22 Desember 2018 di perairan Selat Sunda mengagetkan seluruh pihak, khususnya penduduk lokal yang bermukim di daerah pesisir pantai Banten dan Lampung. Tsunami yang terjadi secara mendadak ini memporakporandakan banyak rumah hingga timbulnya korban jiwa. 

Tsunami kali ini tidak dipicu oleh gempa tektonik melainkan erupsi dari anak gunung krakatau. Ditambah dengan pasang purnama yang menyebabkan air laut menjadi tinggi, tsunami menjadi lebih destruktif. Untungnya masyarakat yang melihat terjadinya air mendadak surut sempat melarikan diri ke tempat yang lebih tinggi untuk mengungsi.

Mengapa pihak BMKG terkesan lambat dalam memberikan informasi prediksi potensi tsunami?

Tentu saja karena potensi tsunami yang bisa dikeluarkan oleh BMKG merupakan simulasi dari besarnya skala gempa tektonik yang menghasilkan tinggi muka air akibat patahan dan tsunami merambat ke pesisir pantai karena fenomena fisik transformasi gelombang.

Yang tercatat adalah keanehan muka air pada alat ukur pasang surut yang berada di dekat pelabuhan. Alat ukur ini bukanlah instrumentasi yang layak untuk memastikan tinggi gelombang yang terjadi apakah tsunami atau bukan karena berada di daerah pesisir pantai di mana gelombang tsunami sudah merambat dengan cepat dari sumber pusat tsunami.

Sebagai negara yang berada di ring of fire atau cincin api dan patahan lempeng, potensi gempa dan tsunami bisa terjadi sewaktu-waktu. Tidak heran bahwa negara-negara seperti Amerika dan Jepang yang juga berpotensi terjadinya tsunami selangkah lebih jauh ke depan dalam persiapan mitigasi. 

"GPS BUOY" adalah sebuah instrumen untuk mengamati perubahan muka air dan gelimbang di laut lepas. Perubahan tinggi gelombang atau muka air mendadak di laut lepas ini akan terdeteksi kemudian secara cepat mengirimkan sinyal ke operator.

Dengan instrumentasi ini, kita dapat mengetahui dengan cepat kondisi perairan di laut lepas sehingga dapat mengirimkan informasi mitigasi kepada warga.

sumber: www.ndbc.noaa.gov
sumber: www.ndbc.noaa.gov

sumber: journals.tdl.org
sumber: journals.tdl.org
Gambar di atas merupakan gambar persebaran lokasi buoy yang dihimpun oleh NOAA Amerika di samudra pasifik dan juga peta persebaran GPS BUOY di Jepang.

Ironi sekali bahwa Indonesia yang merupakan lokasi rentan terhadap bencana sama sekali tidak mempunyai sistem deteksi terhadap tsunami. Setelah kejadian yang begitu banyak terjadi tentang tsunami, mengapa tidak pernah ada pemasangan buoy?

Tentu saja pemerintah bukannya tidak berusaha. Dilansir di halaman Kompas, tsunami untuk alat pendeteksi dini hilang karena terjadinya vandalisme atau dicuri oleh okum yang tidak bertanggung jawab. Tentu saja ini membuat pemerintah kebingungan untuk memasang alat pendeteksi tsunami dini di tengah laut yang apabila dicuri berarti kehilangan milyaran rupiah. 

Sebuah ironi yang terjadi, sebuah instrumentasi untuk mengamankan masyrakat justru dicuri oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Ini merupakan masalah serius yang harus menjadi refleksi semua masyarakat Indonesia.

Mau sampai kapan masyarakat kita mempunyai mental "pencuri" yang hanya karena masalah uang menyebabkan kehilangan banyak korban jiwa? Mungkin salah satu solusi untuk mengatas ini adalah melakukan upaya sosialisasi di daerah yang ingin dipasang buoy dan bekerja sama dengan TNI AL serta teknologi citra satelit untuk pengawasan.

Mitigasi bencana merupakan hal yang sangat penting dan pemerintah harus fokus untuk masalah ini. Bukan hanya saja mengancam nyawa orang, tetapi upaya minimalisasi dampak bencana yang tidak ditanggapi dengan serius dapat mengancam perekonomian nasional terutama pabrik dan industri yang berlokasi di daerah pantai.

Jepang yang sudah memiliki teknologi canggih saja kelabakan saat terjadi Tohoku tsunami di tahun 2011. Bagaimana dengan Indonesia yang juga mempunyai potensi bencana tanpa ada persiapan?

Tentu saja bencana merupakan takdir Yang Maha Kuasa dan tidak ada orang yang dapat mengetahui. Tetapi kita dianugerahi akal dan pikiran untuk bertindak waspada. Dengan kerjasama dari berbagai pihak, kita dapat meminimalisasi dampak bencana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun