Sebagian besar pemerintah daerah masih mengandalkan Dana Alokasi Umum, Dana Transfer ke Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus, dan dana transfer lainnya sebagai sumber pendanaan APBD. Oleh karena itu, pelaksanaan instrumen pembiayaaan dalam pembaharuan pembiayaan APBD menjadi pilihan alternatif untuk membiayai kegiatan-kegiatan di pemerintah daerah (pembangunan infrastruktur). Salah satu darin instrumen tersebut adalah obligasi daerah. Obligasi daerah telah diperkenalkan sejak berlakunya otonomi daerah di Indonesia.Â
Obligasi merupakan jenis surat utang jangka menengah dan panjang, dapat diperjualbelikan dan mengandung komitmen atau janji dari pihak yang menebitkan surat berharga. Obligasi daerah berfungsi untuk membiayai pembangunan daerah guna memajukan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Meskipun ekosistem pendukung penerbitan obligasi daerah di Indonesia telah terbentuk dari sisi kemampuan fiskal, kemampuan kelembagaan, dan kerangka peraturan yang telah dibuat sedemikian rupa, namun belum ada pemerintah daerah yang berhasil dalam menerbitkan obligasi.Â
Pertama yaitu dari kegagalan Provinsi DKI Jakarta dalam menerbitkan obligasi daerah dalam pembangunan Terminal Pulo Gebang, akhirnya terminal tersebut didanai oleh SiLPA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah pergantian kepala daerah baru. Kedua, Provinsi Jawa Barat juga telah mengalami kegagalan dalam menerbitkan obligasi daerah dalam rangka membangun Bandara Internasional Jawa Barat di Kertajati, Majalengka. Hal tersebut disebabkan karena pengelolaan bandara tersebut milik pemerintah pusat berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Ketiga, Provinsi Kalimantan Timur juga telah mengalami hal serupa, dimana daerah tersebut gagal dalam menerbitkan obligasi daerah mengenai pembiayaan pembangunan jalan tol Balikpapan-Samarinda yang disebabkan oleh kewenangan juga akhirnya proyek jalan tol tersebut ditalangi oleh pemerintah pusat. Terakhir terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Daerah terbut ingin menggunakan obligasi daerah dalam pembangunan berbagai macam infrastruktur daerah yang salah satunya yaitu pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Moewardi Solo , namun hal tersebut lagi-lagi gagal karena masih belum memperoleh izin persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) di daerahnya.
Dari berbagai macam contoh kegagalan pada beberapa daerah maka dapat dirangkum beberapa tantangan atau penghambat utama dalam penerbitan obligasi daerah di Indonesia, diantaranya:
1. Tantangan Regulasi
Kebijakan penerbitan obligasi daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dibuktikan dengan pasal 58 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa penerbitan obligasi daerah harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari DPRD dan Pemerintah Pusat. Kebijakan ini ditetapkan oleh dan dengan Pemerintah Daerah khusus mengenai obligasi daerah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2018, Pasal 42 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa persetujuan dari DPRD juga diperlukan dalam pembentukan dana cadangan guna pendanaan pokok obligasi daerah disamping dari penerbitan obligasi daerah itu sendiri. Kebijakan ini tentunya ditetapkan dengan  Pemerintah Daerah khusus (Pemerintah Daerah tentang dana cadangan). Namun dari kebijakan tersebut, Pemerintah telah meringankan beberapa halangan atau hambatan diatas dengan diterbitkannya Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) pada awal tahun 2022, yaitu Pemerintah Daerah diharapkan langsung mendapatkan persetujuan dari DPRD saat pembahasan APBD dan tidak sebagai prosedur yang terpisah.
2. Dinamika Politik
Seperti kasus kegagalan pada Provinsi Jawa Tengah dalam pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Moewardi Solo, adanya hambatan dari persetujuan dari DPRD dalam instrumen pelaksanaan obligasi daerah menjadikan beberapa daerah mempertimbangkan penerbitan obligasi. Hal tersebut disebabkan beberapa daerah memiliki persepsi adanya risisko seperti gagal bayar yang mengakibatkan Perda dan DPRD bertanggungjawab langsung dalam upaya penerbitan. Selanjutnya hambatan dari dinamika politik yaitu masa tenggat pelunasan pembayaran obligasi daerah tidak diperbolehkan lebih dari masa jabatan kepala daerah. Hal ini menyebabkan Kepala Daerah memerlukan komitmen dan kepastian yang besar untuk memastikan proses obligasi dapat diselesaikan sebelum akhir jabatannya.Â
3. Kurangnya Urgensi dalam Pembiayaan Pembangunan
Hambatan selanjutnya yaitu kurangnya rasa urgensi atau sense of urgensi guna mempercepat pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur publik di daerah.  Pemerintah daerah kurang menyadari akan pentingnya mendapatkan sumber-sumber pendanaan alternatif dalam rangka mempercepat pembangunan sosial-ekonomi di daerahnya, juga dalam merealisasikan beberapa target Tujuan Pembangunan Berlanjutan (TPB) pada tahun selanjutnya.
Dari hambatan-hambatan diatas perlu adanya strategi dalam mengatasinya yaitu:
1. Pemerintah pusat harus segera menyelesaikan kebijakan-kebijakan yang dapat meminimalisir hambatan-hambatan penerbitan obligasi daerah. Dengan adanya Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah  (HKPD) Tahun 2022, diharapkan dapat mempermudah proses-proses mengenai persiapan penerbitan obligasi yaitu penyelarasan terkait syarat sebelum persetujuan penerbitan obligasi daerah dari DPRD. Pemerintah pusat juga perlu segera melakukan penyesuaian terhadap peraturan yang lebih teknis, termasuk Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan OJK dan peraturan lainnya, seperti menelusuri perkembangan kerangka peraturan terkini. Memperbarui dan mengadaptasi kerangka peraturan memerlukan proses sosialisasi yang komprehensif dan merata kepada seluruh pemangku kepentingan dalam ekosistem obligasi regional.Â
2. Perlu adanya peningkatan dan perbaikan mengenai pemahaman dan kinerja pemangku kepentingan, baik itu dari kapasitas fiskal, kelembagaan, maupun dari sumber daya manusianya guna persiapan penerbitan obligasi daerah. Hal tersebut dapa memicu adanya dukungan dan tanggung jawab penerbitan dari pimpinan daerah guna memanfaatkan pembiayaan alternatif.
 3. Peran pemangku kepentingan lainnya perlu diperkuat untuk mencapai tujuan tersebut dalam membantu pemerintah mendorong penerbitan obligasi daerah. Misalnya, lembaga mitra pelaksana dapat membantu memberikan bantuan teknis kepada para pemangku kepentingan. Demikian pula lembaga penyumbang dapat terlibat dalam mendukung aspek pembiayaan dengan menanggung sebagian biaya untuk mendukung kebutuhan publikasi. Selain itu, berbagai asosiasi atau organisasi profesi juga dapat memberikan bantuan untuk penerbitan obligasi tematik. Tak kalah penting, perlunya peningkatan minat penyelenggara pasar modal guna menimbang-nimbang obligasi daerah sebagai portofolio pemodalan yang dapat dipercaya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H