Sampah plastik merupakan permasalahan yang mendarah daging di Indonesia. Alih-alih berkurang, problematika ini justru meroket dari waktu ke waktu. Laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwasanya jumlah sampah di Indonesia per tahun 2021 mencapai 21,88 juta ton. Angka ini menggambarkan realitas masyarakat yang masih kurang peduli terhadap kelestarian lingkungan. Padahal, efek yang ditimbulkan dari makin banyaknya sampah yang menggunung sudah dirasakan sampai sekarang.
Mengutip laman European Environment Agency, pengelolaan sampah yang buruk berkontribusi terhadap perubahan iklim serta mengancam ekosistem dan spesies di alam. Dalam hal ini, meroketnya volume sampah, khususnya plastik sekali pakai juga disebabkan karena tren belanja online yang naik selama pandemi Covid-19. Laporan NielsenIQ mencatat kenaikan jumlah konsumen belanja online di Indonesia melalui e-commerce mencapai 32 juta orang pada 2021 atau setengah kali lipat dibandingkan tahun 2020. Maka dari itu, diperlukan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah plastik dengan tepat dan efisien.
Sampah Plastik yang Terus Menggunung
Sampah merupakan suatu permasalahan yang kompleks. Terlebih, Indonesia memiliki penduduk terbanyak keempat di dunia, sehingga potensi sampah yang dihasilkan juga semakin besar. Indonesia menghasilkan 33 ton sampah pada 2020, dengan 17,07%, di antaranya merupakan sampah plastik yang sulit terurai. Lalu, Laporan Indonesia National Action Plan (NPAP) menyebutkan bahwa sekitar 4,8 juta ton atau 70% dari keseluruhan sampah plastik tersebut tidak terkelola dengan baik dan bermuara di lautan.
Tumpukan sampah plastik dapat merusak lingkungan karena bersifat non-biodegradable yang menjadikannya sebagai penyumbang limbah terbesar. Namun pada kenyataannya, volume sampah terus mengalami peningkatan yang mengkhawatirkan. Sampah yang menggunung setiap jam bisa berjumlah hingga 7.300 ton. Apabila dianalogikan secara sederhana, tumpukan sampah tersebut mampu menutupi setengah dari tinggi Monas di Jakarta. Tak heran apabila Indonesia menjadi negara produsen sampah terbesar kedua di dunia, di bawah China.
Belanja Online yang Menjadi Sebuah Tren
Kehadiran pandemi Covid-19 mengubah paradigma kehidupan masyarakat secara global. Beberapa pola baru yang semakin ramai atau marak terjadi saat pandemi berlangsung mencuat ke permukaan, salah satunya belanja online via e-commerce. Sederhananya, e-commerce merupakan sebuah proses transaksi yang dilakukan melalui  media atau perantara yaitu berupa situs-situs jual beli online yang menyediakan barang  atau jasa yang diperjualbelikan.
Belanja online memberikan banyak kemudahan sehingga mampu berkembang menjadi sebuah tren yang sangat diminati dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, hobi, dan sebagainya. Meski begitu, belanja online juga punya efek negatif, yaitu mengundang kenaikan volume sampah.Â
Hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memaparkan bahwa transaksi belanja online yang berbentuk paket naik 62%, dan belanja layanan antar makanan siap saji naik 47% dengan sampah yang didominasi berupa plastik, bubble wrap dan selotip. Padahal, sampah plastik sangat berbahaya bagi lingkungan dan dapat menyebabkan tercemarnya tanah, air tanah, serta makhluk bawah tanah.
Enviropolis dalam Upaya Mengurangi Pemakaian Plastik
Asuransi telah menarik minat masyarakat akhir-akhir ini lantaran dapat menjamin risiko kerugian atau kehilangan di suatu saat, seperti asuransi kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Tak hanya asuransi umum saja, asuransi unit link juga tumbuh pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia dikarenakan memiliki dua manfaat sekaligus, yaitu perlindungan dan investasi dalam satu polis atau kesepakatan bersama dengan perusahaan jasa asuransi.Â
Meski terus tumbuh dan diminati masyarakat, nyatanya asuransi yang berfokus kepada pengelolaan lingkungan belum terlalu diperhatikan sejauh ini. Menilik realitas bahwasanya tren belanja online menjadi salah satu kontributor sampah plastik terbesar saat ini, rancangan berupa Enviropolis diklaim bisa menjadi solusi yang efektif. Lebih lanjut, Enviropolis merupakan sistem asuransi lingkungan berbasis unit link yang melindungi pengguna e-commerce dari bungkusan plastik sekali pakai.Â
Toko e-commerce harus menyediakan bungkusan yang lebih ramah lingkungan sehingga meminimalisir penggunaan plastik saat proses pengiriman produk. Namun, sebelum itu, baik pengguna maupun toko e-commerce harus menyepakati asuransi bersama yang harus dipenuhi dan dipertanggungjawabkan melalui platform yang tersedia. Apabila toko e-commerce yang bersangkutan melanggar kesepakatan, maka harus membayar ganti rugi atau juga mendapatkan peringatan dalam bentuk pengurangan rating di platform belanja online tersebut.Â
Dengan begitu, tercipta iklim belanja online yang tidak menghasilkan sampah plastik dalam jumlah yang besar ke depannya. Enviropolis, sebagai salah satu asuransi lingkungan hidup ini memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan. Selain pengurangan jumlah plastik sekali pakai yang digunakan, pengguna juga dapat sekaligus berinvestasi untuk kepentingan di hari tua nantinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H