Selain itu, di dalam tubuh NATO sendiri, terdapat perbedaan pandangan tentang bagaimana menghadapi konflik ini. Kanselir Jerman, Olaf Scholz, menyarankan pendekatan diplomatik untuk mengakhiri perang, tetapi langkah ini tidak mendapatkan dukungan penuh dari semua anggota NATO. Polandia dan Lithuania, misalnya, menyuarakan keprihatinan bahwa pendekatan diplomatik yang terlalu lunak bisa memperburuk keadaan dan memberi keuntungan bagi Rusia. Seperti yang dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri Lithuania, Gabrielius Landsbergis, dalam artikel CNBC Indonesia (2024), "Sejarah terus memberitahu kita bahwa perdamaian sejati hanya dapat dicapai melalui kekuatan." Sebaliknya, mereka menekankan bahwa perdamaian yang sejati hanya bisa dicapai melalui penggunaan kekuatan yang lebih besar terhadap Rusia.
Reaksi Global terhadap Perang
Tidak hanya negara-negara NATO yang terpengaruh, tetapi juga negara-negara besar lainnya seperti China dan Korea Utara, yang memiliki kepentingan geopolitik sendiri dalam konflik ini. China, misalnya, terus menyerukan penyelesaian damai untuk perang di Ukraina, mengingat dampak global yang dapat ditimbulkan. Meskipun China mengklaim netral, mereka terus mendesak gencatan senjata dan solusi politik yang lebih damai, sekaligus mendukung upaya untuk mengurangi ketegangan yang ada. Seperti yang disampaikan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, dalam artikel CNBC Indonesia (2024), "Gencatan senjata lebih awal dan solusi politik adalah kepentingan semua pihak."
Sementara itu, Korea Utara, di bawah kepemimpinan Kim Jong Un, juga mengambil sikap yang lebih agresif dengan mengirimkan dukungan kepada Rusia. Kim Jong Un menyatakan bahwa AS dan negara-negara Barat menggunakan Ukraina sebagai "pasukan kejut" untuk melawan Rusia, sementara mereka sendiri berusaha memperluas intervensi militer mereka ke kawasan lain. Dalam artikel CNBC Indonesia (2024), Kim Jong Un berkomentar, "Mereka juga mencoba untuk meningkatkan pengalaman tempur mereka, dengan Ukraina digunakan sebagai pasukan kejut melawan Rusia." Langkah ini semakin mempersulit situasi yang sudah rumit, dengan menambahnya ketegangan internasional di luar Eropa.
 Dampak Geopolitik Â
Perang ini membawa perubahan besar pada tatanan geopolitik dunia. Di Eropa, NATO memperkuat kehadiran militernya dengan ekspansi anggota baru seperti Finlandia dan langkah-langkah Swedia untuk bergabung. Selain itu, negara-negara seperti Norwegia dan Finlandia mulai mempersiapkan rakyat mereka untuk kemungkinan perang dengan menerbitkan panduan krisis.Â
Di luar Eropa, konflik ini mempererat hubungan Rusia dengan negara-negara seperti China. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, menekankan bahwa "gencatan senjata lebih awal dan solusi politik adalah kepentingan semua pihak." Pendekatan ini menunjukkan bahwa beberapa negara besar masih mendorong solusi damai sebagai jalan keluar dari konflik ini, meskipun posisi mereka sering dianggap ambigu oleh Barat.Â
Namun, ketegangan global semakin diperburuk oleh perbedaan pandangan di antara negara-negara anggota NATO. Kanselir Jerman Olaf Scholz menegaskan pentingnya diplomasi dalam mencapai perdamaian abadi, tetapi langkahnya mendapat kritik dari Menteri Luar Negeri Lithuania, Gabrielius Landsbergis, yang menyatakan bahwa "perdamaian sejati hanya dapat dicapai melalui kekuatan." Ketidaksepakatan ini mencerminkan tantangan dalam menciptakan strategi yang koheren di antara sekutu Barat.Â
 Dampak Ekonomi Â
Konflik ini juga menciptakan guncangan besar dalam ekonomi global. Ketidakpastian geopolitik mendorong investor untuk beralih ke aset aman seperti emas, sementara pasar saham global mengalami fluktuasi yang tajam. Sementara itu, harga energi melonjak akibat pengurangan pasokan gas dari Rusia ke Eropa, yang memaksa negara-negara Eropa mencari sumber energi alternatif seperti LNG dari Amerika Serikat.Â
Gangguan pada ekspor gandum Ukraina dan Rusia, yang merupakan salah satu pemasok utama dunia, juga menyebabkan krisis pangan global. Negara-negara berkembang yang bergantung pada impor pangan dari kawasan ini mengalami kenaikan harga yang signifikan, memperburuk situasi kemiskinan dan ketahanan pangan.Â