Rumah Bahasa, Surabaya
3 Oktober 2015--- Kali ini, jalanan Surabaya membawa saya ke gedung “Rumah Bahasa”. Di gedung yang lokasinya berada di belakang Balai kota Surabaya ini, komunitas “Polyglot Indonesia” mengadakan diskusi dengan tema “World Peace Day”. Komunitas Polyglot Indonesia beranggotakan orang-orang yang menguasai atau minimal mampu berbicara dalam beberapa bahasa asing.
Acara dimulai pukul 13.30 dengan perkenalan diri para peserta dan panitia lalu diikuti dengan pembagian kelompok peserta menurut bahasa asing yang akan digunakan. Bahasa yang digunakan dalam pertemuan itu adalah Inggris, Prancis, dan Jerman. Masing-masing meja terdiri dari minimal 3-5 orang.
Sistem diskusi pada saat itu adalah diskusi bebas. Tidak ada seorang pesertapun yang memembawa materi yang menjadi panduan pokok pembahasan. Panitia hanya memberikan tema besar yaitu “World Peace Day”, kemudian para peserta dipersilakan untuk mendiskusikannya bersama rekan satu tim.
Saya berada di kelompok bahasa Inggris saat itu. Pada mulanya, rekan-rekan saya merasa kebingungan dengan apa itu yang dimaksud dengan perdamaian dunia. Untuk mencairkan kebingungan itu, koordinator bahasa Inggris, yaitu Izzah mengerucutkan tema menjadi apa itu definisi tentang damai. Barulah kemudian diskusi menjadi lancar.
Sesekali kami berdebat mengutarakan pendapat masing-masing tentang definisi perdamaian. Ada yang mengatakan perdamaian adalah keadan tanpa perang, kebersamaan dalam perbedaan, penegakan hukum, dan rasa aman akan hak hidup. Ada satu kutipan menarik yang diutarakan oleh rekan satu tim saya yang bernama Lyndon dari Kalimantan. Dirinya mengatakan bahwa ”Perdamaian adalah penghargaan akan hak orang lain, dan itu harus dimulai dari saya.”
Suasana ruang diskusi
Dalam acara yang dihadiri kurang lebih lima belas orang tersebut, ada seseorang gadis yang menguasai lima bahasa asing, namanya Selly. Ia menguasai bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Spanyol, dan Belanda. Dan saat ini ia sedang belajar bahasa Italia. Jika menilik ke belakang, kemampuan Selly mirip dengan dara asal Ambon bernama Gayatri Waliasa, gadis remaja yang menguasai tiga belas bahasa asing tanpa melalui kursus di usianya yang baru enam belas tahun. Namun sayangnya negeri ini harus berduka karena Gayatri wafat di usia yang sangat belia, sembilan belas tahun.
Diskusi kemudian diakhiri dengan pembacaan simpulan dari masing-masing kelompok. Untuk kelompok yang menggunakan bahasa asing selain Inggris, pembacaan simpulannya harus disampaikan dalam dua bahasa, yaitu bahhasa asing dalam kelompok tersebut, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.