Arbitrase, sebuah kata yang tidak asing lagi bagi para pegiat hukum dan kalangan pebisnis. Bagaimana tidak, Arbitrase merupakan sebuah alternatif penyelesaian sengketa yang saat ini banyak dijadikan pilihan dalam dunia bisnis, tidak hanya lingkup nasional tetapi juga internasional. Seperti di Indonesia, banyaknya lembaga Arbitrase merupakan respon atas perkembangan dalam penyelesaian sengketa yang dirasa lebih menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa. Lembaga-lembaga tersebut beberapa diantaranya yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Muammalat Indonesia (BAMUI) kemudian berganti menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), Pusat Penyelesaian Perselisihan Bisnis Indonesia (P3BI), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Arbitrase Olah Raga Indonesia (BAORI) dan lain sebagainya. Lalu mengapa sebenarnya Arbitrase ini menjadi pilihan yang menarik dalam menyelesaikan sengketa secara non-litigasi? hal ini yang akan kita bahas.
Arbitrase sendiri sudah dikenal di dunia internasional bahkan sejak masa Mesir Kuno yang saat itu ditujukan untuk menjembatani permasalahan antar pedagang yang kemudian semakin berkembang untuk penyelesaian sengketa-sengketa perdata hingga pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase itu diakui melalui Konvensi New York 1958. Di Indonesia sendiri, perkembangan Arbitrase sudah berkembang masa pemerintahan Hindia-Belanda hingga dibentuklah Badan Arbitrase pertama bernama BANI pada tahun 1977 yang diprakarsai oleh Prof. R. Subekti, S.H., Harjono Tjitrosoebono, S.H., Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid.
Mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur Arbitrase ini menjadi sangat menarik karena menawarkan sesuatu yang tidak ada di jalur penyelesaian sengketa secara litigasi, yaitu tentang penyelesaian perkara yang fleksibel dan efisien, menjunjung tinggi prinsip kerahasiaan serta yang paling utama yaitu putusan perkara Arbitrase bersifat final and binding (final dan mengikat). Tetapi, perlu dijadikan catatan jika opsi penyelesaian sengketa melalui Arbitrase ini haruslah disepakati sedari awal dibuatnya kontrak dan dicantumkan dalam didalamnya, tidak serta merta apabila timbul sengketa langsung dapat memilih Arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketanya. Namun, terdapat pengecualian yang disebut sebagai Akta Kompromis, itu merupakan perjanjian yang dibuat di hadapan notaris yang berisi tentang kesepakatan para pihak yang memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase walaupun belum disepakati sebelum sengketa tersebut muncul. Dengan adanya kesepakatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, menjadikan pengadilan negeri tidak lagi berwenang maupun ikut campur tangan untuk mengadili sengketa para pihak yang terikat di dalam perjanjian arbitrase. Hal tersebut diatur secara jelas dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.
Tentang penyelesaian perkara yang fleksibel dan efisien dalam arbitrase. Dalam penyelesaian sengketa melalui Arbitrase, ada yang disebut Asas Party Autonomy, asas yang sudah sangat familiar di dalam dunia hukum kebiasaan internasional dalam penyelesaian sengketa yang mana maksudnya adalah dalam penyelesaian sengketa ini bisa dilakukan kesepakatan antara para pihak dengan dibantu arbiter mengenai hukum mana yang akan diberlakukan sebagai dasar pemeriksaan, proses pemeriksaan saksi dan tempat akan dilakukan persidangan, singkatnya para pihak dapat menentukan bagaimana arbitrase hendak dilakukan dengan hukum apa (choice of law) dan hukum acara apa (procedural law) Selain itu, waktu penyelesaian sengketa arbitrase juga diatur secara spesifik dalam Pasal 48 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyebutkan jika "Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis Terbentuk"
Hal kedua yang menarik dibahas yaitu tentang prinsip kerahasiaan. Dalam persidangan arbitrase, segala informasi yang akan terungkap didalamnya akan terjamin kerahasiaannya. Hal ini telah diakomodir dalam Pasal 27 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase yang berbunyi "semua pemeriksaan sengketa dilakukan secara tertutup". Misal saja dalam proses pemeriksaan, prinsipnya dalam proses pemeriksaan persidangan Arbitrase menggunakan prinsip private and confidential, artinya dilakukan secara tertutup dan rahasia yang mana tujuannya tidak lain yaitu untuk menjaga rahasia perusahaan berikut dengan kredibilitasnya. Oleh karena itu, tidak akan diperkenankan media atau wartawan meliput untuk kemudian disebarkan ke masyarakat umum, sehingga disini arbiter memainkan perannya untuk memastikan jika orang yang hadir di dalamnya hanya terbatas oleh para pihak serta orang yang diutus atau kuasanya.
Terakhir yaitu putusan putusan perkara Arbitrase yang bersifat final and binding, artinya yaitu sebuah putusan dalam perkara arbitrase menutup kemungkinan adanya upaya hukum berupa banding, kasasi, atau peninjauan kembali layaknya penyelesaian perkara di Pengadilan negeri. Oleh karenanya, putusan tersebut dengan sendirinya mengandung kekuatan eksekutorial atau executorial kracht. Apabila para pihak tidak menjalankan putusan secara sukarela, maka pihak yang berkepentingan dapat melakukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Namun, terdapat pengecualian di dalam Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyebutkan jika Putusan Arbitrase dapat dibatalkan melalui Pengadilan negeri dalam hal: pertama, surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. Kedua, setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan atau ketiga, putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Lebih daripada yang disebutkan diatas, dalam penyelesaian sengketa melalui mekanisme Arbitrase juga terdapat sesuatu hal yang menjadi poin plus tersendiri yaitu kewenangan secara penuh kepada para pihak yang bersengketa untuk menunjuk sendiri arbiternya yang dirasa memiliki nilai integritas dan profesionalisme yang tinggi. Pemilihan arbiter tersebut dapat berupa arbiter tunggal maupun majelis yang terdiri dari 3 (tiga) orang.
Dari apa yang sudah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa arbitrase merupakan salah satu upaya dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dapat menjadi jembatan dan terobosan dari adanya perbedaan sistem hukum, kebiasaan dan budaya dari para pelaku usaha yang berpotensi dapat menimbulkan sebuah permasalahan. Dengan demikian, kalimat "keadilan,kepastian, dan kemanfaatan hukum" sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch tidak lagi menjadi prinsip belaka dalam duia hukum  yang saat ini dituntut sangat dinamis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H