Di awal pandemi, Teater Koma mengadakan pertunjukan Opera Ular Putih yang disiarkan ulang melalui kanal Youtube Indonesia Kaya sebagai bentuk obat kerinduan bagi pecinta teater selama masa pandemi. Ini pertama kalinya saya menonton pertunjukan yang diselenggarakan oleh Teater Koma, cepat-cepat saya menyetel waktu agar tidak ketinggalan. Durasi pertunjukannya terbilang panjang, namun penonton tidak bisa memalingkan pandangan karena lelucon dan musik yang ditawarkan. Awalnya saya tidak tahu bahwa naskah Opera Ular Putih diadaptasi dari  naskah drama N. Riantiarno, juga belum mengenal jauh siapa sosok tersebut, hanya sepintas mendengar dari ucapan dosen saya.Â
Sampai waktu di mana saya diminta oleh dosen untuk memilih naskah siapa yang ingin dibawakan sebagai tugas akhir dari mata kuliah yang beliau ampu, Kajian Drama 2. Saya dan kelompok memilih naskah Sampek & Engtay yang ditulis oleh N. Riantiarno. Pada naskah tersebut, belum pernah saya melihat versi pertunjukannya. Namun dengan mengandalkan teknologi canggih masa kini, saya bisa melihat isi dalam pertunjukan Sampek & Engtay dalam bentuk foto. Beberapa kali diperhatikan, ada bagian yang membuat saya terpana dan mulai menghubungkan beberapa pementasan teater yang diangkat dari naskah N. Riantiarno.Â
Siapa sosok N. Riantiarno?Â
Bukan lagi asing jika di antara pembaca gemar menonton teater, nama N. Riantiarno bagaikan bintang melejit di antara gegap gempita lampu sorot panggung. Pria yang lahir di Cirebon tersebut adalah sutradara sekaligus aktor panggung dan penulis lakon termahsyur di Indonesia. Nano mengakui dirinya mengenal dengan dunia teater setelah duduk di bangku SMU kelas dua, pada waktu itu ia mulai bergabung dengan kelompok kesenian Tunas Tanah Air Cirebon pada tahun ajaran 1965/1966.
Sebagai pendiri sekaligus pemimpin Teater Koma, Nano juga ikut mendirikan majalah Zaman yang hidup tahun 80an dan bekerja sebagai direktur. Selain itu, Nano pernah duduk sebagai Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta periode 1985-1990. Beberapa karya berupa naskah drama yang dihasilkan, di antaranya Trilogi Opera Kecoa: Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Julini, Opera Primadona; dan beberapa novel yang diterbitkan, di antanya Cermin Cinta (2006) dan Menyentuh Teater: Tanya Jawab Seputar Teater Kita (2003).
Apa yang membuat pementasannya menjadi unik?
Ada beberapa bagian yang menarik pandangan saya ketika menonton sebuah pertunjukan, seperti tata kostum, tata panggung, musik (jika drama musikal), dan tata rias. Tidak dapat dipungkiri, selain naskah diubah ke dalam bentuk pertunjukan, keempat elemen tersebut memang berperan penting untuk mendukung hasil perpindahan naskah tersebut hidup, selayaknya terlihat nyata dan natural.
Pementasan-pementasan yang diadaptasi berdasarkan naskah N. Riantiarno juga mengalami hal yang sama, ada segi keunikan atau ciri khas yang menonjol. Dari tiga pementasan yang sudah pernah saya tonton, keunikan yang membuat saya menghubungkan di antara ketiga pementasan tersebut adalah tata rias. Umumnya tata rias dikenal dengan istilah make up, tetapi dalam seni pertunjukan tidak bisa disamakan. Masyarakat memahami istilah make up sebagai alat untuk memperindah tampilan wajah agar lebih terlihat cantik, menarik, atau tampan. Sedangkan dalam  sebuah pertunjukan, tata rias dianggap sebagai hal yang paling vital, tetapi bisa juga hanya sebagai sarana pendukung biasa (Hasanuddin, 2015; 155).
Fungsi dari tata rias dalam seni pertunjukan memperhatikan kepentingan berikut; (1 Tata rias diperuntukan untuk mempertegas karakter; (2 Tata rias dapat membantu pemain untuk menghayati perannya; (3 Tata rias dapat menciptakan kesan dan suasana tertentu, khususnya pada penonton (Hasanuddin, 2015; 157). Terlebih pada tata rias dari kedua pementasan yang saya kagumi sekaligus sukai, yaitu pementasan Opera Ular Putih dan Sampek & Engtay yang diadaptasi dari naskah N. Riantiarno. Kedua pementasan tersebut mengangkat latar yang sama, budaya Tionghoa yang sangat kental. Sehingga pada tampilan rias yang digunakan juga menyerupai pada riasan-riasan di film kolosal asal Negeri Tirai Bambu. Khas dengan warna-warna Tionghoa, berkulit cerah dan penuh dengan semburat merah di pipinya.Â
Di balik keunikan tata rias yang dimiliki pada tiap pementasan karya adaptasi N. Riantiarno, terdapat sosok andalan untuk memberikan polesan pada setiap wajah tokoh agar fungsi dari tata rias dalam seni pertunjukan tidak sia-sia. Sena Sekarya, makeup artist yang telah lama bergabung bersama Teater Koma dan banyak berpartisipasi dalam beberapa pementasan, seperti Semar Gugat, Opera Ular Putih, dan J.J Sampah-Sampah Kota.Â
Lewat riasan yang menggugah seperti pada kedua pementasan bergaya Tionghoa tersebut, fungsi dari tata rias terhadap pementasan sangat diperhatikan dengan teliti dalam naskah yang diadaptasi dari N. Riantiarno. Hingga melahirkan kesan dan suasana yang membuat penonton menilai karakter tokoh tersebut nyata.
Lalu, tata rias mana yang paling pembaca suka setelah menonton pementasan hasil adaptasi naskah N. Riantiarno?
Referensi:
WS, Hasanuddin. 2015. Drama Karya dalam Dua Dimensi Kajian Teori, Sejarah dan Analisis.
Ensiklopedia Sastra Indonesia Kemdikbud, "N. Riantiarno"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H