Mohon tunggu...
Alvina Rahma Sari
Alvina Rahma Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hallo

Tulungagung l Jatim

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tukang Semir Sepatu

5 Desember 2021   06:27 Diperbarui: 5 Desember 2021   06:30 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Entah sudah berapa lama aku duduk di bawah pohon. Hanya untuk menunggu dan menawarkan jasaku ini kepada seseorang yang sukarela menemaniku duduk di sini. Memandang jalan yang riuh dengan lalu lalang kendaraan sampai trotoar yang beralih fungsi menjadi jalan pengendara sepeda motor ditemani dengan sang surya yang tiada lelah memancarkan sinarnya. Kalau boleh memilih sebenarnya aku tidak ingin berada di sini, menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menunggu kepastian.

" Pagi pak, mari semir sepatu dulu. " ucapku. 

Ya, itulah kalimat yang sering kuucapkan kepada setiap orang yang lewat, berharap agar mereka berhenti dan menyemir sepatunya. Tapi hanya sebuah suara angin yang kudapatkan.  Ya, inilah aku bocah laki-laki tukang semir sepatu yang seharusnya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku rela meninggalkan sekolah untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

" Ih masih kecil gak sekolah. "  

"Ohh..tukang semir sepatu, pantesan gak sekolah." 

Itulah kata yang sering aku dengar dari anak-anak yang berangkat atau pulang sekolah. Apalagi yang bisa kukatakan saat mereka berkata seperti selain diam mendengarkannya. Kalimat yang mereka ucapkan hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri tetapi sangat membekas dihati. Apa mereka tidak berpikir ? Aku juga ingin seperti mereka " ya mereka" yang setiap pagi kulihat selalu menggendong tas, berseragam rapi, dan bersepatu.

 Aku juga ingin punya banyak teman, belajar bersama, mendengarkan penjelasan guru saat mengajar. Entahlah apakah ini akan menjadi sebuah kenyataan atau hanya akan menjadi khayalanku saja. Apa dayaku ini hanya seorang bocah yang berpakaian kumuh, bersandal jepit, dan selalu menggendong kotak kayu berisikan sikat dan semir sepatu ? Aku selalu membayangkan ada seseorang yang ikhlas dan sukarela menyekolahkanku. Ya, inilah isi pikiranku seorang anak yang menjadi tukang semir sepatu dengan penghasilan yang tak menentu. 

Percayalah, aku ini pandai mengatur uang. Aku bisa memecahkan uang sepuluh ribu untuk membeli makanan yang dapat kusimpan selama tiga hari. Sudah terbiasa aku hidup seperti ini.


Kalian pasti bertanya-tanya di mana orang tuaku ? Entahlah aku juga tidak tahu. Apakah mereka tak merindukanku ? Tujuh tahun sudah mereka meninggalkanku. Setiap hari aku selalu berharap muncul sosok mereka yang masih mengenaliku. Mereka menitipkanku kepada nenek. Beliau bilang kedua orang tuaku pergi merantau untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tapi sudah selama ini tidak ada kabar dari mereka. Aku selalu berdoa kepada Allah  agar selalu menjaganya. Jika mereka masih di dunia, aku berharap semoga pulang dan kembali kepadaku. Dan jika mereka telah tiada, aku berharap Allah akan mempertemukan kita di Surga-Nya.

" Nak jangan melamun ini uangnya, kembaliannya buat kamu saja. " ucap Ibu itu. 

Aku tersentak kaget melihat ibu itu mengulurkan uang sepuluh ribu. Tangan ini bergerak mengambil uang itu.

" Maaf Bu.. maaf saya tidak sengaja melamun. " ucapku.

" Terima kasih banyak, semoga Ibu selamat di jalan. " ucapku lagi.

" Iya sama- sama. " ucap ibu itu.

Terima kasih ya Allah setidaknya hari ini aku masih bisa membawa pulang uang. Setelah ibu tadi pergi kukemasi barang-barangku dan pulang karena hari sudah mulai larut. Pasti nenek sudah menungguku.

Esoknya kulangkahkan kaki ini ke tempat seperti biasa sembari menawarkan kepada orang-orang.  Cuaca pagi ini  cukup bersahabat dan aku harap hari ini tidak seburuk hari-hari sebelumnya.

" Mari tuan semir sepatu dulu, saya jamin sepatu Anda akan kinclong seperti kaca. " ucapku.

" Oh ya, benarkah kalau tidak kinclong berarti kau berbohong. " kata tuan itu.

" Benar tuan saya tidak berbohong. " jawabku.

" Berapa harga sepasang ? " tanya tuan itu.

" Lima ribu rupiah, apakah tuan berminat ? " tanyaku.

" Baiklah. " jawab tuan itu.

Kumulai semir sepatu tuan itu hingga benar-benar kinclong.

" Benar juga kau tidak berbohong, ambillah. " ucapnya sambil memberiku uang lima puluh ribu rupiah.

" Tuan apa uangnya tidak ada yang kecil, saya tidak punya kembalian ? " tanyaku kepadanya.

" Kembaliannya buatmu saja." jawab tuan itu.

" Tu....tuan tidak bercanda." tanyaku.

" Tidak, ambillah." jawabnya.

" Terima kasih banyak, Anda sangat baik." ucapku.

Kembali kulangkahkan kakiku ke tempat biasanya dengan muka yang sangat ceria.

" Huuuhhhhhh...." ucapku. 

Sudah empat jam dari tuan tadi menyemir sepatu sampai sekarang tidak ada lagi yang menyemir sepatu.

" Nak kau bisa semir sepatuku." tanya bapak itu.

" Bisa pak bisa, mari biar saya semir." ucapku sambil mengeluarkan alat semir dari kotak kayu.

 " Sudah berapa lama kamu kerja seperti ini Nak ? " tanya bapak itu sambil mengambil duduk di depanku.

" Sudah dua tahun saya menjadi tukang semir sepatu pak sejak nenek tidak bekerja lagi di ladang" jawabku sambil memulai menyemir sepatunya.

" Apa kau tidak sekolah Nak." tanya bapak itu kepadaku.

" Tidak pak, saya tidak sekolah." ucapku kepada bapak itu.

" Jika ada seseorang yang menawarimu untuk sekolah apakah kamu mau menerima tawaran itu ? " tanya bapak itu sambil memandangku.

" Emmm....mau pak." jawabku dengan menunduk.

" Baiklah." katanya.

" Apa kau tidak khawatir membawa peralatan semir dengan kotak kayu yang rapuh itu ?" tanya bapak itu.

" Ah... ini sebenarnya sih iya, tetapi aku belum punya uang untuk membeli yang baru." jawabku.

" Berapa harga kotak semir yang akan kau beli?" tanyanya padaku.

" Sekitar seratus ribu rupiah." jawabku.

" Jika kita menjadi rekan bisnis apakah kamu mau, aku akan menanam modal seratus ribu dan kamu bisa membeli tempat semir sepatu ?" tanyanya.

" Tapi ingat kau juga harus membayar bunga kepadaku seribu rupiah, setiap kau mengangsurnya." kata bapak itu lagi. Aku bingung harus menjawab apa tapi itu merupakan penawaran yang menggiurkan.

" Bagaimana apa kau setuju ?" tanyanya sambil mengulurkan tangan kepadaku meminta persetujuan.

" Baiklah pak, aku menerima penawaranmu." jawabku sambil menjabat tangannya.

" Ini sepatunya sudah selesai disemir pak." ucapku sambil membereskan peralatan semir.

" Ini uangnya dan uang semir sepatu yang seharusnya aku bayar tadi kuanggap sebagai angsuran pertamamu." jawab bapak itu sambil berdiri . 

Aku pun ikut berdiri dan mengangguk-anggukan kepala sebagai tanda jawaban darinya. Bapak itu pun mulai melangkahkan kakinya meninggalkanku aku pun juga ikut melangkahkan kakiku meninggalkan tempat itu. Namun baru beberapa langkah bapak itu berhenti dan menghadap kepadaku seraya berkata 

 " Oh iya hampir lupa besok tolong temui saya di SD Garuda itu ya."

" Buat apa ya pak." tanyaku yang kebingungan.

" Besok kamu mulai sekolah di sana, tenang saja peralatan sekolah biar saya yang menyiapkan." kata bapak itu yang membuatku terkejut.

" Ini benar kan pak." tanyaku yang hanya dijawab dengan senyum dan anggukan kepala darinya. 

Langsung saja aku berlari dan memeluk bapak itu, kuucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya sebelum bapak itu pergi. Alhamdulillah ya Allah, akhirnya apa yang selama ini aku bayangkan akan menjadi sebuah kenyataan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun