Sekolah digadang-gadang menjadi tempat belajar yang menyenangkan, menggembirakan karena dapat tertawa bebas, bercanda ria dan saling berbagi satu sama lain. Tetapi tidak semua sekolah akan menyajikan nuansa indahnya seperti yang dikatakan, dan dibagikan oleh sebagian anak -- anak.
Penguasa terbesar dan terkuat di sekolah adalah anak-anak, yang mewarnai hitam putih kehidupan sekolah adalah mereka. Guru menjadi pendamping, pengarah motivator anak-anak, yang tidak dapat sepenuhnya dipercayai oleh mereka, ataupun menjadi penyelamat  hidup bagi anak-anak.Â
Guru dianggap menjadi orang dewasa yang paham betul tentang dunia pendidikan. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar dan salah. Sekarang ini banyak yang mengatas namakan dirinya seorang guru tetapi tidak mencerminkan jati dirinya saat berhadapan dengan anak -- anak.
Di tempat yang tidak pernah kami semua tengok, ataupun tempat yang selalu memberikan citra baiknya kepada masyarakat, aka nada hal -- hal yang membuat kita merasa pilu, aka nada sekelompok anak yang menguasai daratan, aka nada golongan kelompok -- kelompok anak yang merasa hebat, kuat, popular, dan  berbakat, serta akan ada golongan anak -- anak yang akan menjadi sasaran bermain dari golongan anak -- anak popular.
Dibalik banyaknya kelompok golongan ini aka nada anak  yang menyendiri di pojokan tanpa ada teman, mereka hanya sebagian kecil ynag tak mampu untuk saling merangkul satu sama lain. mereka akan bmembuat banteng pertahanan diri masing -- masing. Tidak ada satu pun orang yang akan menyelamatkan mereka, kecuali dia kuat bertahan sendiri.
Selintas pikiran Akan  muncul dari sebagain kecil dari mereka yang tertindas,  bersembunyi dari sekelompok anak-anak popular mengenai kehidupan sekolah.
Seperti apa sekolah yang kalian impikan sebelum masuk ?
Bagaimana perasaan kalian saat bersekolah?
Apakah sekolah benar tempat yang aman ?
Siapa yang kalian banggakan saat masa sekolah?
Apakah orang dewasa akan tahu perasaaan kita saat berada di sekolah?
Pertanyaan ini akan muncul dari anak-anak yang keberadaanya tidak dianggap, atau bahkan orang dewasa yang masih rentan terhadap kehidupan sekolah. Sebenarnya mereka hanya menginginkan pendidikan yang baik, dan pertemanan yang damai, tidak ada keinginan untuk menyaingi dan menjadi popular di seluruh sekolah.
Sekolah dari pandangan sebagian anak akan menjadi neraka, sarang bencana yang tak akan redam, meskipun berpindah. Mereka mengutamakan keselamatan diri mereka masing-masing, karena tidak ada satunpun yang paham akan kondisi mereka.
Pikiran mereka dipenuhi dengan kekhawatiran untuk esok hari. Â bagaimana dia bisa bebas di sekolah, dengan siapa aku akan bermain,
Anak tidak akan ada waktu senggang untuk membayangkan bagaimana manisnya pertemanan bagaimana indahnya menjalin persahabatan, ataupun membayangkan bergembira bersama saat hari perayaan tiba.
Anak-anak yang tak dianggap ini akan menjadi sasaran intimidasi anak-anak keren dan menonjol, mereka akan mencemooh dan mengejek sesuka hati mereka, bahkan kekerasan fisik akan mereka lakukan. Anak-anak itu tidak tahu bahwa tindakannya menyebabkan sakit fisik dan juga mental. Anak yang menjadi korban akan cenderung pendiam enggan untuk bersua dan mengatakan sejujurnya kepada orang dewasa ataupun guru kelas.Â
Alasannya karena sebagian guru akan tutup mata dan telinga saat mengetahui kejadian tercela tersebut. Bahkan pengelola sekolah enggan menegur anak-anak ketika mereka berbuat salah. Hal inilah yang seharusnya menjadi instropeksi pada praktisi pendidikan sekolah.Â
Kekhawatiran yang sangat fatal ini akan membuat korban menjadi terasingkan, terbuang, tidak berdaya dan penerimannya tidak dianggap. Anak akan menderita mental dan fisik yang akan mempengaruhi proses perkembangan dan pertumbuhannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H