Carut marut, sempit, becek, bau, predikat  yang acap kali melekat pada kawasan pinggiran kota-kota metropolitan. Pesatnya aktivitas urbanisasi dari desa menuju kota menjadi faktor utama ketidak mampuan ruang perkotaan menampung populasi pendatang kondisi ini juga menjadi urgensi Kota Semarang sebagai kota metropolitan, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2020 jumlah penduduk di Kota Semarang mencapai 1.653.524 jiwa, mengalami kenaikan pada tahun 2021 menjadi 1.656.564 jiwa, dan pada tahun 2022 menjadi 1.659.975 jiwa kenaikan populasi ini tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan sehingga memaksa terbentuknya permukiman tidak terencana di wilayah pinggiran dengan kondisi lingkungan tidak siap huni yang juga akrab dikenal dengan pemukiman kumuh. Berdasarkan SK Walikota Semarang No. 050/801/2014 terdapat 62 kawasan kumuh di Kota Semarang dan pada tahun 2020 tercatat ada seluas 112 Ha daerah permukiman kumuh di Kota Semarang.Â
Munculnya permukiman kumuh di daerah perkotaan juga disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi penduduk migran dalam memenuhi kebutuhan dasar. Keterbatasan penghasilan, yang semakin sulit diperoleh akibat terbatasnya lapangan pekerjaan di perkotaan, di support dengan kurangnya keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja membuat masyarakat urban yang berada di garis kemiskinan kesulitan memenuhi kebutuhan perumahan yang layak huni. Akibatnya, mereka terpaksa tinggal di permukiman yang jauh dari kata layak huni dan mencari alternatif lahan, seperti di bantaran sungai dengan status kepemilikan bangunan yang tidak bersertifikat atau ilegal.Â
Pondok Boro, sebuah penginapan bersejarah di Kota Semarang, tidak hanya sekadar tempat tinggal bagi para perantau, tetapi juga mencerminkan dinamika kompleks yang terjadi dalam dinamika pembangunan politik di Indonesia. Sejak berdirinya pada era kolonial Belanda, Pondok Boro telah bertransformasi dari gudang rempah-rempah menjadi hunian bagi ratusan pekerja informal yang mencari nafkah di tengah hiruk-pikuk kota. Dengan tarif yang sangat terjangkau, sekitar Rp4.000 per malam, tempat ini menjadi pilihan utama bagi mereka yang berasal dari daerah terpencil dan berusaha meraih kehidupan yang lebih baik di kota besar.
Urbanisasi yang pesat di Semarang telah menyebabkan peningkatan kebutuhan akan hunian yang terjangkau, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Fenomena ini menciptakan tekanan pada ruang kota yang terbatas, sehingga memunculkan permukiman kumuh seperti Pondok Boro. Dalam konteks ini, Pondok Boro menjadi simbol dari tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat dalam mengelola pertumbuhan populasi dan menyediakan fasilitas hunian yang layak. Banyak penghuni Pondok Boro adalah pedagang dan pekerja harian yang terpaksa tinggal dalam kondisi seadanya, menggambarkan realitas pahit dari ketidakadilan sosial dan ekonomi.Â
Kondisi ini bertentangan dengan  konsep utama smart city yang meliputi smart goverment, smart social, dan smart environment untuk membuktikan komitmen pemerintah Semarang untuk mewujudkan pelayanan publik dan kualitas hidup berdasarkan peraturan Walikota Semarang Nomor 26 tahun 2018 tentang rencana induk Semarang kota cerdas (Masterplan Semarang smart city) pemerintah  menciptakan kawasan layak huni dengan memperbaiki kondisi permukiman kumuh melalui program-program pemerintah, meliputi penyediaan rusunawa. Pembangunan Rusunawa (Rumah Susun Sewa) di Kota Semarang merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi masalah permukiman kumuh dan menyediakan hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Program rusunawa ini menjadi program unggulan untuk menjawab kebutuhan masyarakat terkait hunian layak tinggal. Rusunawa sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri PUPR No. 28/PRT/M/2016, yang menetapkan pedoman teknis dalam pembangunan rumah susun serta standar pengelolaannya. Meskipun solusi sudah disediakan terdapat resistensi dari penghuni Pondok Boro yang enggan pindah menjadi hambatan dalam pelaksanaannya dan menjadi tantangan tata kota Semarang menuju smart city.Â
Penolakan dari penghuni Pondok Boro dipengaruhi oleh faktor culture dan ekonomi. Dari perspektif culture, pola adaptasi migran dalam mencari hunian di perkotaan juga memainkan peran penting. Banyak penduduk Pondok Boro berasal dari Kebumen wilayah desa dengan tradisi kolektif yang kuat menjadi faktor kecenderungan mereka untuk tinggal berdekatan dengan kelompok asal yang sama, membentuk komunitas berbasis kekerabatan atau etnis di dalam Pondok Boro. Pola ini membantu mereka saling mendukung secara sosial dan ekonomi, seperti berbagi informasi pekerjaan.
Berdasarkan pernyataan dari salah satu penghuni Pondok Boro bernama Bapak Arif , ia merasa betah tinggal di Pondok Boro karena sudah lama mengenal lingkungan tersebut. Pak Arif  juga menyatakan bahwa ia tinggal di pondok tersebut secara turun-temurun, menggantikan kakaknya yang telah meninggal. Keakraban dengan lingkungan yang sudah dikenal membuatnya merasa nyaman dan lebih mudah beradaptasi. Pak Arif juga menjelaskan bahwa tinggal di Pondok Boro memberikan rasa aman dan mendukung dalam menjalani kehidupan sehari-hari, karena hubungan sosial yang terjalin di antara penghuni yang saling mengenal dan membantu.
Hal ini berbeda jika ia harus pindah ke tempat baru, di mana rasa asing dan ketidakpastian akan menghambat kenyamanannya. Keterikatan emosional terhadap tempat tinggal ini menunjukkan bagaimana faktor budaya, seperti tradisi kekerabatan dan kedekatan sosial, memainkan peran besar dalam mempengaruhi keputusan penghuni untuk tetap tinggal meskipun ada tawaran relokasi yang berikan pemerintah. Solidaritas budaya ini juga sering kali tidak disertai dengan peningkatan kualitas hidup, karena mereka tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.
Dari perspektif ekonomi, Banyaknya penduduk migran yang bekerja sebagai buruh harian, pedagang kecil dengan pendapatan tidak menentu kondisi ini mengharuskan perantau hemat untuk bertahan di Kota Semarang disisi lain juga harus memberikan penghidupan kepada keluarga di kampung. Mereka memprioritaskan kebutuhan dasar dan fungsi ketimbang memprioritaskan kualitas fisik hunian. Pondok Boro dengan tarif sewa yang sangat murah sebesar Rp.4.000,- per malam menjadi pilihan utama bagi para perantau kebumen bertempat tinggal di kawasan  Pondok Boro.Â
Pondok Boro bukan hanya sekadar sebuah permukiman kumuh, melainkan sebuah potret nyata dari dampak urbanisasi yang tidak terkelola dengan baik di Kota Semarang. Meskipun pemerintah telah mengupayakan solusi melalui pembangunan rusunawa dan program-program perbaikan permukiman, tantangan besar tetap muncul, baik dari sisi budaya maupun ekonomi. Perbedaan preferensi dan keterikatan sosial penghuni dengan lingkungan yang sudah mereka kenal menjadi hambatan dalam implementasi kebijakan.