Pemberian kemudahan dalam berinvestasi dalam pemilikan tanah juga secara tidak langsung akan meminggirkan bahkan menggusur paksa masyarakat Indonesia. Hal itu nantinya akan menyebabkan posisi sosial perempuan akan semakin kesulitan dalam meraih akses kepemilikan tanah.Â
Solidaritas Perempuan mencatat, pada 2019 hanya ada 24,2% bukti kepemilikan tanah yang atas nama perempuan (Ika, 2020). Fenomena tersebut mengindikasikan budaya patriarki bagi perempuan untuk bisa memperoleh akses dan kontrol terhadap tanah. Implikasi dari UU Cipta Kerja bagi perempuan juga akan semakin menguatkan terjadinya perampasan lahan, sulitnya lapangan pekerjaan, hak-hak buruh yang nantinya akan menimbulkan migrasi tenaga kerja.
Dimana perempuan banyak menjadi buruh migran, bermigrasi sebagai pekerja rumah tangga. Berdasarkan pengalaman penanganan kasus SP, perempuan buruh migran terus mengalami kekerasan dan pelanggaran hak yang berlapis, karena tidak adanya atau minimnya perlindungan negara. Sehingga penting bagi kita semua untuk terus berkonsolidasi, untuk menyuarakan penolakan.Â
Dengan demikian, berdasarkan pandangan Jean Bethke Elshtain dalam bukunya A Political Theorist mengkritik bahwa semua perempuan harus mengedepankan rasionalitas dan tidak boleh menunjukkan emosionalnya untuk mengurangi ketertindasannya. Menurut Elshtain, perempuan tidak boleh mengadopsi cara berpikir laki-laki karena erempuan mempunyai cara berpikir sendiri yang bisa dipertahankan. Laki-laki maupun berempuan harus mengadopsi dua cara berpikir tersebut dan tidak boleh mendikotomikan nurture dan nature.
Omnibus Law juga akan berdampak langsung memperdalam konflik agraria. Dimana perempuan sering kali menjadi korban dalam konflik ini. Kaum perempuan biasanya mengalami intimidasi dan kekerasan yang berlapis. Beberapa bulan yang lalu perempuan Adat Pubabu diancam, dikriminalisasi karena melakukan aksi buka baju saat berhadapan dengan aparat keamanan (Rahayu, 2020). J S Mill dan Harriet yang mengkritisi pemikiran Wollestonecraft, juga menekankan pentingnya rasionalitas untuk perempuan agar persamaan perempuan dan laki-laki terwujud, serta tidak cukup diberikan pendidikan yang sama tetapi juga harus diberikan kesempatan untuk berperan dalam ekonomi dan dijamin hak sipilnya yang meliputi hak untuk berorganisasi, kebebasan untuk berpendapat, hak untuk memilih dan hak milik pribadi, serta hak-hak sipil lainnya (Rosemarie, 1989).
Bahan Bacaan :
Gadis Arivia, "Feminisme Liberal" dalam Jurnal Perempuan, Edisi-05, Januari 1998. hal.62-66.
Siti Hidayat Amal, "Beberapa Perspektif Feminis dalam Menganalisis Persoalan", dalan Aliran Femisme, Bahan Training dari Kapal Perempuan.
Rosemarie Tong, Feminist Thought, Westview Press, 1989.