Mohon tunggu...
Alviendra Hernando
Alviendra Hernando Mohon Tunggu... Mahasiswa - laki-laki

mahasiswa yang sedang mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Omnibus Law Dilihat dari Perspektif Feminis

21 April 2021   23:44 Diperbarui: 22 April 2021   00:10 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, pengesahan UU Cipta Kerja sama sekali tak memandang dan menoleransi gender. Mengacu pada pendapat Gadis Arivia (1998:62-68), penyusunan undang -- undang dari perspektif feminis seharusnya ditujukan untuk mengangkat status perempuan. UU Cipta Kerja malah semakin memiskinkan dan meminggirkan perempuan dari aspek pekerjaan. 

Dampaknya dalam konteks ini adalah tidak dijaminnya perlindungan terhadap buruh perempuan yang mengalami kekerasan, penganiyaan, pelecehan seksual, diskriminasi gender, dan lain sebagainya oleh negara. 

Pada saat buruh perempuan tidak bisa bekerja karena KDRT atau harus pergi ke kantor polisi untuk melaporkan kasusnya, perusahaan hanya melihat bahwa dia tidak bekerja (Sucahyo, 2020). Pengesahan UU Cipta Kerja tersebut semakin menjatuhkan posisi sosial perempuan di dalam lingkungan tenaga kerja Indonesia.

Relevansi pengesahan UU Cipta Kerja terhadap kondisi pekerja lepas atau freelancer masih sangat memprihatinkan. Menurut survei lembaga, sebanyak 76 persen pekerja lepas perempuan tidak mendapatkan cuti haid, 93 persen tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, dan 38 persen harus bekerja lebih dari 8 jam per hari. 

Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif meyakini bahwa UU Cipta Kerja nantinya akan sangat berimplikasi bagi pekerja perempuan karena kondisinya yang masih sangat rentan di Indonesia. 

Berdasarkan konsep feminis, negara Indonesia sama sekali tidak memperjuangkan hak-hak perempuan. Dimana seharusnya semua pekerja laki-laki dan perempuan harus sederajat di bawah hukum dan tidak ada seorang pun yang boleh memiliki keistimewaan atau hak khusus. Feminis Liberal pun juga  mendasarkan pemikirannya pada konsep yang menekankan bahwa wanita dan pria diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama dan juga harus mempunyai kesempatan yang sama  (Wollstonecrat, 1787). 

Tak ada satu pun pasal atau kata "perempuan" dalam draf RUU yang dibuat. Padahal kabar terakhir RUU itu sudah masuk prolegnas dalam draf Omnibus Law tak ada penyertaan hak khusus untuk cuti melahirkan bagi perempuan. 

RUU Cipta Lapangan Kerja yang dibentuk oleh pemerintah hanya sekadar menyediakan lapangan pekerja, namun tak memperhatikan kualitas pekerjanya. Ia menilai Omnibus Law akan menganggap pekerjanya bukan untuk manusiawi, tapi hanya agar tidak mati hari ini (Ika, 2020).

Hak perempuan seperti hak cuti hamil, hak fasilitas khusus saat hamil, hak cuti haid oleh pemerintah sama sekali tak dipedulikan bahkan menunjukkan adanya indikasi sistem kerja produksi patriarki pada pekerja perempuan di Indonesia.

Kemudian dampak lain yang akan dirasakan oleh pekerja perempuan di Indonesia akibat pengesahan UU Cipta Kerja adalah privatisasi tanah yang nantinya akan menyebabkan perempuan mau tidak mau harus menjadi pekerja atau buruh di perkebunan kelapa sawit. 

Kemudahan perizinan di bidang ekstraktif sumber daya alam akan membuat posisi buruh semakin rentan mengalami kekerasan seksual. Konstitusi tersebut akan semakin memfasilitasi pengusaha merusak lingkungan dan dampaknya akan menimpa perempuan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun