Sumba ternyata beneran indah, ya. Saya kira, efek kamera di film "Pendekar Tongkat Emas" dan "Marlina Pembunuh Dalam 4 Babak" itu melebih-lebihkan tone settingnya. Ternyata nggak. Sumba beneran indahnya. Lead yang juga teman seumuran saya di kantor, Iqbal, mencoba ngelawak dengan bilang, "Di Sumba, foto ngeblur aja pasti keren hasilnya."
Memang benar. Sangat mudah mencari objek foto bagus di Pulau Sumba. Bentangan sabana yang kalau kemarau jadi gersang-gersang eksotis gimana gitu. Yang kalau musim hujan jadi serba hijau kayak di dunia teletubbies. Pantai-pantainya itu konon ibarat perawan polos yang mau-an kalau disuruh ngapain aja masih bagus dan mulus.
Intinya, urusan foto dan keperluan untuk ria di media sosial, Sumba menawarkan kemudahan itu untuk semua pelancongnya.
Namun di balik mudahnya mencipta foto di Sumba, ada satu hal yang jadi kontradiksi. Dan menurut sebagian besar umat manusia saat ini, hal ini telah menjadi sebuah urgensi yang harus masuk dalam program prioritas pemerintah. Apakah itu?
Sinyal...
Serius. Saya sedang tidak bercanda. Ternyata, film "Susah Sinyal" karya Ernest Prakasa yang tidak sebagus film "Cek Toko Sebelah" itu bukan fiktif. Susah sinyal jadi fenomena yang terpapar nyata di Sumba. Ungkapan GSM yang merupakan singkatan dari Geser Sedikit Mati ternyata bukan jokes film semata. Orang Sumba justru telah lama akrab dengan ungkapan GSM.
Ia pun sempat mengeluhkan keadaan sinyal saat Festival Kuda Sandelwood berlangsung. Beberapa stasiun televisi kesulitan untuk menangkap sinyal untuk keperluan Live mereka. Bisa dikatakan, status sinyal di Sumba sudah memasuki tahap "wagelaseh", kalau kata anak muda masa kini.
SINYAL PENUNJANG PENDIDIKAN
Perjalanan dinas saya di Sumba kemarin mencatat dua tujuan. Pertama, penyerahan donasi campaign galang dana pembangunan jembatan yang mengumpulkan 500 juta lebih dari 1820 donatur. Ini dia rekap videonya:Â
Kedua, kunjungan ke desa Tanarara di Kabupaten Sumba Timur. Di desa itu, warga secara swadaya tengah berupaya membangun sebuah sekolah menengah pertama. Hal ini terjadi karena sekolah SMP yang ada di daerah tersebut telah melebihi kapasitas, selain karena jaraknya yang jauh.