Ya Tuhan. "Sakit" ini ternyata ada hikmahnya juga. Sudah lama betul rasanya saya tidak melihat senyum Ginny.
Ginny mendekati saya. Wajah senyumnya perlahan berubah jadi wajah heran. Dengan gaya khas to the pointnya, ia bertanya pada saya:
kamu sakit kulit kan?
Saya langsung menjawabnya: kamu tahu dari mana?
"dari kabar orang-orang dan adik kamu yang tadi nelpon aku. "Sebelah mana sakit kulitnya? udah sembuh yah?"
"Lho?" Saya hanya menjawab lho.
"Ya, sebelah mana? kata adik kamu tadi ngomong kalo sekujur tubuh kamu penuh sama bintik merah? kok nggak keliatan? kalian ngeboongin aku ya?"
Sementara adik saya menangis dan meyakinkan Ginny bahwa penyakit yang diderita saya adalah sungguhan, saya berpikir: Nah, berarti Ginny satu penglihatan dengan saya: tidak melihat di mana titik-titik merah biadab itu berada. Kenapa bisa begitu ya?
Perlahan, saya jelaskan kepada Ginny tentang reaksi semua orang yang menjenguk saya. Ginny masih tidak percaya sampai akhirnya beberapa teman-teman ibu satu pengajian datang, melingkari saya, mendoakan serta turut prihatin dengan kondisi yang saya alami.
"Cuman kita yang nggak bisa liat luka-luka merah itu," kata saya dengan senyum sedikit menggombal.
Muka Ginny langsung mengkerut masam. "Ini sih ada yang ngga beres..."katanya dengan suara pelan.