Jauh-jauh zaman sebelum Kang Pepih Nugraha, COO Kompasiana, beserta balad-baladnya jatuh bangun meluaskan jejaring blog bernama Kompasiana, Pak Auwjong telah terlebih dulu mencicil fondasinya. Jauh-jauh dekade sebelum Kompasiana menjelma jadi sebuah blog untuk para wartawan Kompas, sampai saat ini malah menjadi sebuah media warga dan juga komunitas besar di Indonesia (saya tak mau lancang menyebut Kompasiana sebagai media warga dan komunitas terbesar) yang mempertautkan banyak manusia, Auwjong telah lebih dulu memulainya.
Sampai akhirnya wacana acara televisi berjudul “Kompasiana” yang akan mengudara tahun depan bergulir, Pak Auwjong telah membuat rintisan konsepnya. Terhitung sejak dekade 60-an, tahun 68 spesifiknya, Auwjong rutin menulis salah satu rubrik di koran Kompas yang mengulas banyak hal tentang kejadian terkini pada zaman itu, rubrik Kompasiana namanya.
Buku “Hidup Sederhana, Berpikir Mulia” karangan Helen Ishwara (2014) menjelaskan secara rinci perihal apa saja yang ditulis Auwjong di Kompasiana: tentang nasib tahanan politik, tentang insiden Adam Malik dengan sebuah majalah, tentang skripsi seorang sejarawan, tentang pembangunan rumah-rumah murah, tentang kebudayaan, seni, demokrasi, tentang perkembangan harian Kompas dari masa ke masa, tentang Jakarta, tentang penguasa, tentang kesederhanaan seorang Raja Swedia, serta tentang-tentang yang lainnya. Pemimpin Umum Harian Kompas yang tiada lain rekan seperjuangan Auwjong, Jakob Oetama, di halaman 319 buku tersebut mengatakan bahwa rubrik Kompasiana amat banyak penggemarnya. Tak pelak, Kompasiana menjadi semacam kepedulian Auwjong sebagai pemimpin media terhadap persoalan-persoalan sekitar.
Ada juga yang mengunggah rangkaian bait-bait puitisnya, juga tulisan-tulisan humor yang hampir saja menjadi lucu. Tidak sedikit juga yang memancing provokasi lewat tulisan-tulisan beraroma SARA bahkan vulgar. Ada juga yang berusaha memancing keuntungan lewat unggahan-unggahan bernada iklan. Semuanya berbaur di Kompasiana. Tertampung, dihargai, diapresiasi, meskipun sesekali diperingati.
Layaknya sebuah adagium “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”, bolehlah kita beranalogi bahwa “Komunitas yang besar adalah komunitas yang menghargai jasa para pendirinya”. Tak ada salahnya para kompasianer mengetahui dan menelusuri jejak para pendiri Kompasiana. Toolbar “About Kompasiana” di pojok kiri bawah laman Kompasiana bisa jadi salah satu caranya. Hal tersebut mungkin bisa jadi salah satu pelecut agar makin banyak Kompasianer yang menyusun tulisan informatif nan inspiratif. Tak hanya itu, makna “Sharing and Connecting” ala Kompasiana pun diharap agar semakin terasa ketika para Kompasianer tahu siapa yang jadi pendahulunya. Tak ada salahnya kan, membuat mendiang Pak Auwjong tersenyum simpul di sana?
Salam...
*Auwjong tiada lain adalah salah satu panggilan akrab Petrus Kanisius Ojong, salah satu dari dua orang pendiri Harian Kompas dan Majalah Intisari. Kata Kompasiana lahir berupa rubrik rutin yang Ojong tulis secara rutin di awal-awal berdirinya harian Kompas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H